STUDY KASUS KEADAAN BATUAN SEDIMEN DAERAH BANYUMAS
APLIKASI BATUAN SEDIMEN
Keadaan obyek yang diamati
Keadaan geologi di daerah tempat tinggal saya yaitu di daerah Purwokerto sulit sekali diamati karena sudah tidak ada daerah batuan yang lapang. Yang tersisa hanyalah bagunan-bangunan perumahan saja. Oleh karena itu saya mengambil obyek study kasus mengenai Aplikasi batuan sediment ini di daerah Patikraja, dan Gunung Tugel yang berjarak kurang lebih 7 kilometer dari kota Purwokerto.
Batuan sediment adalah batuan yang terbentuk dari akumulsi material hasil rombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktifitas kimia maupun organisme yang diendapkan pada cekungan sedimentasi yang kemudian mengalami pembatuan. Dalam batuan sediment dapat dijumpai fragmen batuan maupun mineral. Mineral-mineral yang umumnya ditemukan dalam batuan sediment antara lain : kuarsa, feldspar, kalsit, dolomite, mika, dan mineral lempung. Batuan sediment terjadi dari pembatuan atau litifikasi hancuran batuan lain atau litifikasi hasil reaksi kimia atau biokimia. Sedangkan litifikasi sendiri berarti proses terubahnya materi pembentuk batuan yang lepas-lepas (unconsolidated rock-forming materials) menjadi batuan yang kompak keras (consolidated/coherent rocks). Litifikasi tersebut dapat terjadi melalui proses penyemenan (cementation), pemadatan (compaction), keluarnya air dari pori-pori karena pemadatan atau penguapan (desiccation), pengkristalan (crystallization).
Berdasarkan proses terjadinya batuan sediment dibedakan menjadi sediment klastik dan nonklastik. Batuan sediment klastik adalah batuan sediment yang terbentuk dari hasil litifikasi material-material hasil rombakan batuan yang telah ada sebelumnya. Sedangkan batuan nonklastik adalah batuan sediment yang terbentuk dari material-material hasil aktifitas kimia, biokimia, maupun biologis. Dari kedua macam mekanisme pembentukan batuan sediment tersebut dikenal tekstur klastik dan nonklastik.
Batuan sediment mudah sekali untuk kita temukan karena jumlahnya yang banyak di lingkungan sekitar kita ini.
Batuan sediment yang saya jadikan obyek merupakan batuan sediment klastik dengan struktur berlapis sejajar. Yang perlu diperhatikan pada batuan sediment bertekstur klastik adalah ukuran butir, dan bentuk butir. Pada foto diatas terlihat struktur yang berlapis-lapis secara sejajar.
Aplikasi batuan sediment
Batuan sediment memiliki jenis yang sangat beragam dan masing-masing jenis tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang beragam pula antara satu batuan dengan batuan lainnya. Batuan sediment yang berada pada daerah sekitar Paikraja dan Gunung Tugel ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang atau warga masyarakat sekitar sebagai bahan bagunan atau untuk membuat peralatan rumah tangga seperti lumpang, pawon, cirri, mutu, dan peralatan lain-lain.
Lumpang merupakan sejenis alat landasan untuk menumbuk padi sehingga dapat menjadi beras yang kemudian akan diolah menjadi nasi untuk kebutuhan makan warga sekitar. Lumpang ini dipasarkan khususnya kepada warga masyarakat yang berada di pedesaan yang bermata pencaharian sebagai petani tradisional dimana kebanyakan dari mereka masih menggunakan alat-alat sederhana untuk bertani maupun mengolah makanannya. Namun seiring berkembangnya zaman, produksi lumpang ini menurun tajam yang berakibat semakin berkurangnya para produsen alat ini. Banyak orang yang dahulu memproduksi sekarang beralih kepada mata pencaharian lain Karen dinilai sudah tidak menjanjikan untuk ditekuni lagi. Sekarang yang tersisa menekuni ini kebanyakan adalah keturunan dari orang-orang tua para pembuat alat ini dan mereka tidak memiliki ketrampilan lain untuk beralih pekerjaan.
Pawon merupakan suatu alat yang digunakan untuk memasak, sama seperti dengan kompor. Perbedaannya adalah bahan bakarnya adalah kayu bakar dan pawon ini terbuat dari batu yang dibuat sedemikian rupa agar bisa digunakan sebagai alat untuk memasak. Sama halnya dengan lumpang, baik produksi maupun produsen alat ini juga semakin berkurang seiring dengan perkembangn zaman.
Alat rumah tangga lain yang biasanya diproduksi yaitu cirri-mutu. Alat ini digunakan untuk menghaluskan bumbu makanan. Produsen dari cirri-mutu mungkin tidak begitu menurun. Hal ini dikarenakan warga masyarakat masih menyukai menghaluskan bumbu-bumbu masakan dengan menggunakan alat ini dibandingkan menggunakan alat penghalus modern.
Pemanfaatan batuan sediment oleh para warga dilakukan secara sendiri-sendiri tidak terkoordinir satu dengan yang lainnya. Atau bisa disebut industri rumahan, jadi masing-masing orang bekerja mencari dan menemukan batu sebagai bahan sendiri atau dibantu oleh anggota keluarga yang lain kemudian dibentuk sedemikian rupa olehnya menjadi barang-barang untuk keperluan perlengkapan rumah tangga tersebut yang pada akhirnya akan dijual melalui tengkulak atau dijajakan oleh mereka sendiri baik di pasar ataupun dengan cara menawarkan dari satu rumah ke rumah lainnya.
Namun tidak seperti dahulu, sekarang sudah tidak banyak orang yang berminat menggunakan barang-barang yang terbuat dari batu tersebut, mereka lebih memilih untuk menggunakan barang-barang yang terbuat dari aluminium ataupun besi yang lebih kuat dan tahan lama dibandingkan barang yang terbuat dari batu. Sehingga hal ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang pada awalnya bekerja sebagai tukang pembuat barang-barang tersebut beralih menjadi buruh serabutan yang pada akhirnya menyebabkan tingkat kemiskinan warga di daerah kabupaten Banyumas menjadi bertambah besar karena pemerintah daerah belum mampu menyelesaikan permasalahan klasik seperti kasus-kasus seperti ini.
Selain pemanfaatan batuan untuk membuat barang-barang tersebut diatas sebenarnya masih sangat banyak pengapliksian batuan sediment yang lainnya. Seperti batuan yang digunakan sebagai barang kerajinan untuk hiasan di rumah, ataupun digunakan untuk bahan bangunan perumahan. Ada pula batuan sediment yang digunakan sebagai batu hiasan pada aquarium.
Sabtu, 14 Februari 2009
STADIA DAERAH
Ketika sungai terbentuk dan mulai mengalir menuju base level, sungai akan memotong lembah, mengairi channel sungai, dan membentuk morfologi yang dilewatinya ( Tarbuck & Lutgens, 1984, hal 225 – 226 ). Pembentukan stadia daerah juga dipengaruhi oleh iklim daerah tersebut. Stadia daerah pada daerah yang beriklim humid / basah berbeda dengan stadia pada daerah arid / kering.
Daerah bertingkat erosi muda ditandai oleh
1.Relief bertambah dengan cepat,
2.Sungai-sungai belum berkembang luas
3. Sungai‑sungai dipisahkan oleh divides yang luas
Daerah bertingkat erosi dewasa ditandai oleh
1.Relief mencapai maksimum
2. Sungai‑sungai mulai berkembang
3.Divides makin sempit.
Daerah bertingkat erosi tua ditandai oleh
1.Merendahnya puncak‑puncak divides
2.Relief daerah menjadi bergelombang lemah (undulating). Permukaan bumi yang demikian disebut peneplain (hampirata).
Apabila kemudian terjadi epirogenesis atau orogenesis, maka daerah yang terangkat ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh sungai‑sungai yang mengalir di daerah tersebut sehingga akan terjadi tingkat erosi daerah muda lagi. Proses ini disebut peremajaan atau "rejuvenation" Untuk dapat mempelajari sungai secara keseluruhan, kita harus mengetahui klasifikasi sungai secara genetika. Menurut Lobeck (1939, hal. 171) klasifikasi sungai tersebut terdiri atas :
Sungai konsekuen
Sungai yang mengalir searah dengan arah kemiringan lereng yang dilewatinya. Umumnya sungai konsekuen ini terdapat pada daerah yang mengalami peristiwa tektonik, misalnya uplifted dome, block mountain, dan daerah pesisir pantai.
Sungai subsekuen
Adalah sungai yang mengalir mengikuti arah strike batuan atau arah jurus perlapisan batuan pada daerah dengan batuan yang kurang resisten, atau sungai yang mengalir mengikuti kekar – kekar dan sesar pada daerah dengan batuan yang kristalin.
Sungai obsekuen
Merupakan sungai yang arah alirannya berlawanan arah dengan arah kemiringan perlapisan batuan, dan juga berlawanan arah dengan arah sungai konsekuen. Sungai obsekuen umumnya hanya pendek dengan gradien sungai yang curam, umumnya berupa anak sungai yang mengalir melewati tebing gunung yang curam atau escarpments.
Sungai resekuen
Adalah sungai yang mengalir mengikuti arah jurus kemiringan batuan dan kemiringan lereng. Tetapi sungai resekuen terbentuk belakangan dan pada ketinggian yang lebih rendah dengan besar kemiringan batuan lebih kecil daripada sungai konsekuen. Sungai resekuen umumnya terdapat sebagai anak sungai dari sungai subsekuen.
Sungai insekuen
Merupakan sungai yang arah alirannya tidak dikendalikan oleh struktur batuan, tidak mengalir mengikuti arah kemiringan perlapisan batuan. Sungai insekuen mengalir ke semua arah yang mungkin untuk dilewati, dan hasilnya membentuk pola penyaluran dendritik.
Sungai anteseden
Adalah sungai yang telah ada sebelum perbukitan atau pegunungan terbentuk, sungai ini tetap mempertahankan kedudukan selama proses uplifting berlangsung, akibatnya sungai membentuk water gap karena mengalir melewati punggungan atau perbukitan.
Sungai superimposed ( superposed )
Merupakan sungai yang mengalir sepanjang daerah yang tertutupi oleh dataran alluvial atau sedimen yang dapat membentuk peneplain. Apabila telah mengalami rejuvinasi, sungai superposed akan memotong lapisan penutupnya. Rejuvinasi dapat terjadi apabila peneplain mengalami uplifting.
Sungai reversed/membalik
Adalah sungai yang tidak dapat mempertahankan kedudukannya ketika uplifting terjadi, hanya mengubah arah alirannya mengikuti kelerengan daerahnya.
Sungai compound
Merupakan sungai yang mengalir melewati dua daerah atau lebih dengan umur geomorfologi yang berbeda.
Sungai composite
Adalah sungai yang mengalir melewati dua daerah atau lebih dengan struktur geologi yang berbeda.
Ketika sungai terbentuk dan mulai mengalir menuju base level, sungai akan memotong lembah, mengairi channel sungai, dan membentuk morfologi yang dilewatinya ( Tarbuck & Lutgens, 1984, hal 225 – 226 ). Pembentukan stadia daerah juga dipengaruhi oleh iklim daerah tersebut. Stadia daerah pada daerah yang beriklim humid / basah berbeda dengan stadia pada daerah arid / kering.
Daerah bertingkat erosi muda ditandai oleh
1.Relief bertambah dengan cepat,
2.Sungai-sungai belum berkembang luas
3. Sungai‑sungai dipisahkan oleh divides yang luas
Daerah bertingkat erosi dewasa ditandai oleh
1.Relief mencapai maksimum
2. Sungai‑sungai mulai berkembang
3.Divides makin sempit.
Daerah bertingkat erosi tua ditandai oleh
1.Merendahnya puncak‑puncak divides
2.Relief daerah menjadi bergelombang lemah (undulating). Permukaan bumi yang demikian disebut peneplain (hampirata).
Apabila kemudian terjadi epirogenesis atau orogenesis, maka daerah yang terangkat ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh sungai‑sungai yang mengalir di daerah tersebut sehingga akan terjadi tingkat erosi daerah muda lagi. Proses ini disebut peremajaan atau "rejuvenation" Untuk dapat mempelajari sungai secara keseluruhan, kita harus mengetahui klasifikasi sungai secara genetika. Menurut Lobeck (1939, hal. 171) klasifikasi sungai tersebut terdiri atas :
Sungai konsekuen
Sungai yang mengalir searah dengan arah kemiringan lereng yang dilewatinya. Umumnya sungai konsekuen ini terdapat pada daerah yang mengalami peristiwa tektonik, misalnya uplifted dome, block mountain, dan daerah pesisir pantai.
Sungai subsekuen
Adalah sungai yang mengalir mengikuti arah strike batuan atau arah jurus perlapisan batuan pada daerah dengan batuan yang kurang resisten, atau sungai yang mengalir mengikuti kekar – kekar dan sesar pada daerah dengan batuan yang kristalin.
Sungai obsekuen
Merupakan sungai yang arah alirannya berlawanan arah dengan arah kemiringan perlapisan batuan, dan juga berlawanan arah dengan arah sungai konsekuen. Sungai obsekuen umumnya hanya pendek dengan gradien sungai yang curam, umumnya berupa anak sungai yang mengalir melewati tebing gunung yang curam atau escarpments.
Sungai resekuen
Adalah sungai yang mengalir mengikuti arah jurus kemiringan batuan dan kemiringan lereng. Tetapi sungai resekuen terbentuk belakangan dan pada ketinggian yang lebih rendah dengan besar kemiringan batuan lebih kecil daripada sungai konsekuen. Sungai resekuen umumnya terdapat sebagai anak sungai dari sungai subsekuen.
Sungai insekuen
Merupakan sungai yang arah alirannya tidak dikendalikan oleh struktur batuan, tidak mengalir mengikuti arah kemiringan perlapisan batuan. Sungai insekuen mengalir ke semua arah yang mungkin untuk dilewati, dan hasilnya membentuk pola penyaluran dendritik.
Sungai anteseden
Adalah sungai yang telah ada sebelum perbukitan atau pegunungan terbentuk, sungai ini tetap mempertahankan kedudukan selama proses uplifting berlangsung, akibatnya sungai membentuk water gap karena mengalir melewati punggungan atau perbukitan.
Sungai superimposed ( superposed )
Merupakan sungai yang mengalir sepanjang daerah yang tertutupi oleh dataran alluvial atau sedimen yang dapat membentuk peneplain. Apabila telah mengalami rejuvinasi, sungai superposed akan memotong lapisan penutupnya. Rejuvinasi dapat terjadi apabila peneplain mengalami uplifting.
Sungai reversed/membalik
Adalah sungai yang tidak dapat mempertahankan kedudukannya ketika uplifting terjadi, hanya mengubah arah alirannya mengikuti kelerengan daerahnya.
Sungai compound
Merupakan sungai yang mengalir melewati dua daerah atau lebih dengan umur geomorfologi yang berbeda.
Sungai composite
Adalah sungai yang mengalir melewati dua daerah atau lebih dengan struktur geologi yang berbeda.
PROSES GEOLOGI
PROSES GEOLOGI
Proses Eksogenik
Proses eksogenik adalah proses yang disebabkan oleh tenaga yang berasal dari luar tubuh bumi.
Proses ini terdiri dari :
a.Pelapukan batuan
b.Erosi dan sedimentasi
c.Gerakan massa
a. Pelapukan batuan
Pelapukan batuan yaitu proses perubahan batuan menjadi tanah (soil) baik oleh proses fisik atau mekanik (desintegration) maupun oleh proses kimia(decompositon).
Proses decomposition dapat menyebabkan terjadinya mineral-mineral baru.
Tanah :
Menurut Teknik Sipil :
Mencakup semua bahan dari tanah lempung sampai ke berangkal (batu-batu yang besar)
Dalam Geologi pengertian tersebut disebut regolith yaitu selubung atau lapisan terluar permukaan bumi yang terdiri dari partikel-partikel batuan yang lepas, butir-butir mineral, yang umumnya terletak di atas batuan induk.
Menurut Geologi :
Bagian dari regolith yag dapat membantu tanaman berakar untuk tumbuh
Proses pelapukan batuan dibagi menjadi dua macam :
Pelapukan mekanik atau disintegrasi
Pelapukan kimia atau dekomposisi
Pelapukan mekanik
Adalah proses hancurnya batuan secara mekanik atau fisik. Proses ini disebabkan oleh pemuaian dan penyusutan batuan karena perubahan suhu yang besar. Pelapukan mekanik yang disebabkan kegiatan organisme seperti merambatnya akar tanaman, injakan binatang, kegiatan manusia dapat disebut sebagai pelapukan biomekanik atau biofisik
Pelapukan kimia
Pelapukan kimia adalah proses hancurnya batuan karena perubahan mineralnya.
Pelaku pokoknya adalah air hujan yang melarutkan gas CO2 dari atmosfer, sehingga setibanya di permukaan bumi menjadi asam karbonat.
Pelapukan kimia dibagi menjadi empat, yaitu :
Hidrasi, adalah proses terbentuknya mineral-mineral baru
Hidrolisis adalah proses pembentukan ion hidroksil yang kemudian berperanan dalam reaksi kimia. Pada umumnya hal itu terjadi pada pelapukan feldspar dan mika.
Pencucian adalah proses berubah dan berpindahnya komponen‑komponen kimia suatu batuan atau mineral oleh larutan. Batugamping, dolomit, marmer mudah mengalami proses ini.
Oksidasi adalah proses penambahan valensi positif atau pengurangan valensi negatif.
Jadi ada perpindahan satu elektron atau lebih dari suatu ion atau atom.
Oksidasi dapat pula diartikan sebagai reaksi suatu zat dengan oksigen. Dalam hal ini sebagai zat adalah mineral dalam batuan.
Pelapukan kimia karena kegiatan organisme atau disebut juga pelapukan biokimia disebabkan oleh asam humus yang terjadi dari bahan organik humus yang hancur karena bakteri dan terlarutkan oleh air.
Pelapukan kimia kerapkali terjadi jalin-menjalin dengan pelapukan fisik seperti pada proses eksfoliasi dan pelapukan membola.
Eksfoliasi adalah pengelupasan batuan menjadi bentuk lempeng lengkung karena bagian luar batuan lapuk oleh hidrasi atau hidrolisis kemudian rontok oleh tenaga mekanik.
Pelapukan membola atau pelapukan sferoidal adalah pelapukan yang disebabkan karena batuan mengalami retak-retak (biasanya karena kekar), kemudian retakan itu terisi air. Air ini menyebabkan hidrasi atau hidrolisis pada bagian‑bagian batuan di sekitar retakan itu. Akibatnya terjadilah inti‑inti batuan segar berbentuk membulat dikelilingi oleh tanah hasil pelapukannya
Tanah
Tebal dan tipisnya lapisan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
Jenis batuan induk (komposisi mineral batuan induk)
Relief topografi permukaan bumi
Iklim
Organisme
Waktu
Ditinjau dari hubungannya dengan batuan induk tanah dibagi menjadi dua macam yaitu :
Tanah sisa (Residual Soil) adalah tanah yang letaknya masih berada di atas batuan induknya. Tanah ini belum berpindah tempat karena pengangkutan oleh proses erosi atau gerakan massa.
Tanah terangkut (Transported Soil) adalah tanah yang sudah terangkut dan diendapkan di tempat lain baik oleh air, angin, es, ataupun gerakan massa
Tanah terangkut, pengertiannya sama dengan sedimen klastik. Dengan demikian klasifikasinya berdasarkan pelaku pengangkutannya dan tempat diendapkannya, sama dengan klasifikasi sedimen klastik. Klasifikasinya berdasarkan ukuran butir tanah, juga sama dengan sedimen klastik.
Erosi dan Sedimentasi
Erosi adalah proses berpindahnya materi penyusun permukaan bumi (tanah dan batuan) karena terangkut oleh air, angin atau es yang mengalir atau bergerak di permukaan bumi.
Air yang mengalir di permukaan bumi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu Overland flow dan Stream flow.
Overland flow, mengalir sebagai massa air yang luas dan relatif tipis sebagai lembaran air atau melalui alur-alur yang saling berhubungan. Proses erosinya disebut erosi lembaran (sheet erosion).
Stream flow, adalah aliran permukaan yang menjadi satu atau biasa disebut sungai
Air permukaan (run off = running water) merupakan salah satu komponen sistem siklus hidrologi
Air sungai sangat penting bagi kehidupan manusia, karena air sungai berguna sebagai :
1.sumber untuk irigasi lahan pertanian
2.sumber tenaga untuk industri
3.untuk keperluan rumah tangga
4.sarana pengangkut
5.obyek wisata
6.tempat hidup ikan.. dll.
Ditinjau dari segi geologi, aliran air permukaan dan air sungai khususnya, berperanan penting sebagai pemindah air dari daratan ke laut atau samudera. Air permukaan bersama‑sama dengan gerakan massa merupakan pelaku pokok pengelupas daratan.
Setiap tahun, sedimen dari darat yang terangkut ke laut atau samudera secara mekanik ada sejumlah 1 bilyun ton, sedangkan yang terangkut melalui larutan hasil leaching berjumlah 400 juta ton (Flint dan Skinner, 1974:126).
Jumlah massa tanah atau batuan yang tererosi dipengaruhi oleh faktor‑faktor sebagai berikut
1.Macam batuan
2.Kemiringan lereng
3.Iklim (curah hujan)
4.Tingkat kelebatan tetumbuhan
5.Organisme
6.Waktu
Sungai
Running water atau aliran air permukaan merupakan agen geologi yang paling penting dalam proses erosi, transportasi, dan deposisi sedimen. Hampir semua landscape di bumi terbentuk dari hasil erosi sungai atau deposisi. Sungai adalah suatu tubuh running water yang terkumpul pada suatu saluran dan bergerak menuju base level of erosion akibat pengaruh gaya gravitasi ( Plummer dkk, 2003, hal 224 ). Sungai umumnya berada pada suatu stream channel, yaitu suatu bentuk depresi yang panjang dan sempit yang tererosi oleh air sungai menjadi sedimen. Apabila jumlah air melebihi kapabilitas sungai untuk menampungnya, maka air akan meluap ke pinggir sungai, daerah yang dialiri air pada saat banjir disebut sebagai daerah dataran banjir ( flood plain ) (Plummer dkk, 2003:224). Sungai berawal dari daerah dengan kelerengan tinggi dan mengalir menuju daerah dengan kelerengan rendah yang pada akhirnya akan bermuara ke laut. Air akan mengalir menuju laut karena gaya gravitasi. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju laut tergantung pada kecepatan aliran sungai ( velocity ) yaitu jarak yang dilalui air per satuan waktu. Kecepatan aliran sungai berhubungan langsung dengan kemampuan sungai untuk mengerosi dan mentransportasikan material.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan aliran sungai, antara lain gradien sungai, karakteristik channel, dan discharge (Tarbuck & Lutgens, 2000, hal.92).
Gradien sungai, adalah kelerengan sungai yang diekspresikan oleh suatu penurunan vertikal pada jarak tertentu. Semakin besar gradiennya, semakin besar pula energi yang tersedia untuk mengalirkan air.
Karakteristik channel, channel sungai adalah suatu saluran yang mengendalikan aliran air, tetapi air tetap mengalami friksi selama mengalir. Bentuk, ukuran dan kekasaran channel berakibat pada jumlah friksi yang dialami air.
Semakin besar ukuran channel semakin efisien aliran air karena kecilnya proporsi air yang berkontak dengan channel. Suatu channel yang halus dan licin akan menghasilkan aliran air yang relatif seragam, sedangkan channel yang tidak beraturan akan menghasilkan boulder–boulder yang menyebabkan turbulensi yang akan melambatkan aliran sungai.
Discharge, adalah jumlah volume air yang mengalir per satuan waktu, satuannya dalam kubik meter per detik atau kubik feet per detik. Nilai discharge selalu berubah – ubah tergantung pada curah hujan dan pelelehan salju. Apabila jumlah air pada sungai bertambah maka kecepatan aliran air juga akan bertambah besar pula. Untuk mengatasi penambahan air, sungai akan memperbesar ukuran channel dengan cara memperlebar dan membuat dalam channel tersebut.
Proses Eksogenik
Proses eksogenik adalah proses yang disebabkan oleh tenaga yang berasal dari luar tubuh bumi.
Proses ini terdiri dari :
a.Pelapukan batuan
b.Erosi dan sedimentasi
c.Gerakan massa
a. Pelapukan batuan
Pelapukan batuan yaitu proses perubahan batuan menjadi tanah (soil) baik oleh proses fisik atau mekanik (desintegration) maupun oleh proses kimia(decompositon).
Proses decomposition dapat menyebabkan terjadinya mineral-mineral baru.
Tanah :
Menurut Teknik Sipil :
Mencakup semua bahan dari tanah lempung sampai ke berangkal (batu-batu yang besar)
Dalam Geologi pengertian tersebut disebut regolith yaitu selubung atau lapisan terluar permukaan bumi yang terdiri dari partikel-partikel batuan yang lepas, butir-butir mineral, yang umumnya terletak di atas batuan induk.
Menurut Geologi :
Bagian dari regolith yag dapat membantu tanaman berakar untuk tumbuh
Proses pelapukan batuan dibagi menjadi dua macam :
Pelapukan mekanik atau disintegrasi
Pelapukan kimia atau dekomposisi
Pelapukan mekanik
Adalah proses hancurnya batuan secara mekanik atau fisik. Proses ini disebabkan oleh pemuaian dan penyusutan batuan karena perubahan suhu yang besar. Pelapukan mekanik yang disebabkan kegiatan organisme seperti merambatnya akar tanaman, injakan binatang, kegiatan manusia dapat disebut sebagai pelapukan biomekanik atau biofisik
Pelapukan kimia
Pelapukan kimia adalah proses hancurnya batuan karena perubahan mineralnya.
Pelaku pokoknya adalah air hujan yang melarutkan gas CO2 dari atmosfer, sehingga setibanya di permukaan bumi menjadi asam karbonat.
Pelapukan kimia dibagi menjadi empat, yaitu :
Hidrasi, adalah proses terbentuknya mineral-mineral baru
Hidrolisis adalah proses pembentukan ion hidroksil yang kemudian berperanan dalam reaksi kimia. Pada umumnya hal itu terjadi pada pelapukan feldspar dan mika.
Pencucian adalah proses berubah dan berpindahnya komponen‑komponen kimia suatu batuan atau mineral oleh larutan. Batugamping, dolomit, marmer mudah mengalami proses ini.
Oksidasi adalah proses penambahan valensi positif atau pengurangan valensi negatif.
Jadi ada perpindahan satu elektron atau lebih dari suatu ion atau atom.
Oksidasi dapat pula diartikan sebagai reaksi suatu zat dengan oksigen. Dalam hal ini sebagai zat adalah mineral dalam batuan.
Pelapukan kimia karena kegiatan organisme atau disebut juga pelapukan biokimia disebabkan oleh asam humus yang terjadi dari bahan organik humus yang hancur karena bakteri dan terlarutkan oleh air.
Pelapukan kimia kerapkali terjadi jalin-menjalin dengan pelapukan fisik seperti pada proses eksfoliasi dan pelapukan membola.
Eksfoliasi adalah pengelupasan batuan menjadi bentuk lempeng lengkung karena bagian luar batuan lapuk oleh hidrasi atau hidrolisis kemudian rontok oleh tenaga mekanik.
Pelapukan membola atau pelapukan sferoidal adalah pelapukan yang disebabkan karena batuan mengalami retak-retak (biasanya karena kekar), kemudian retakan itu terisi air. Air ini menyebabkan hidrasi atau hidrolisis pada bagian‑bagian batuan di sekitar retakan itu. Akibatnya terjadilah inti‑inti batuan segar berbentuk membulat dikelilingi oleh tanah hasil pelapukannya
Tanah
Tebal dan tipisnya lapisan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
Jenis batuan induk (komposisi mineral batuan induk)
Relief topografi permukaan bumi
Iklim
Organisme
Waktu
Ditinjau dari hubungannya dengan batuan induk tanah dibagi menjadi dua macam yaitu :
Tanah sisa (Residual Soil) adalah tanah yang letaknya masih berada di atas batuan induknya. Tanah ini belum berpindah tempat karena pengangkutan oleh proses erosi atau gerakan massa.
Tanah terangkut (Transported Soil) adalah tanah yang sudah terangkut dan diendapkan di tempat lain baik oleh air, angin, es, ataupun gerakan massa
Tanah terangkut, pengertiannya sama dengan sedimen klastik. Dengan demikian klasifikasinya berdasarkan pelaku pengangkutannya dan tempat diendapkannya, sama dengan klasifikasi sedimen klastik. Klasifikasinya berdasarkan ukuran butir tanah, juga sama dengan sedimen klastik.
Erosi dan Sedimentasi
Erosi adalah proses berpindahnya materi penyusun permukaan bumi (tanah dan batuan) karena terangkut oleh air, angin atau es yang mengalir atau bergerak di permukaan bumi.
Air yang mengalir di permukaan bumi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu Overland flow dan Stream flow.
Overland flow, mengalir sebagai massa air yang luas dan relatif tipis sebagai lembaran air atau melalui alur-alur yang saling berhubungan. Proses erosinya disebut erosi lembaran (sheet erosion).
Stream flow, adalah aliran permukaan yang menjadi satu atau biasa disebut sungai
Air permukaan (run off = running water) merupakan salah satu komponen sistem siklus hidrologi
Air sungai sangat penting bagi kehidupan manusia, karena air sungai berguna sebagai :
1.sumber untuk irigasi lahan pertanian
2.sumber tenaga untuk industri
3.untuk keperluan rumah tangga
4.sarana pengangkut
5.obyek wisata
6.tempat hidup ikan.. dll.
Ditinjau dari segi geologi, aliran air permukaan dan air sungai khususnya, berperanan penting sebagai pemindah air dari daratan ke laut atau samudera. Air permukaan bersama‑sama dengan gerakan massa merupakan pelaku pokok pengelupas daratan.
Setiap tahun, sedimen dari darat yang terangkut ke laut atau samudera secara mekanik ada sejumlah 1 bilyun ton, sedangkan yang terangkut melalui larutan hasil leaching berjumlah 400 juta ton (Flint dan Skinner, 1974:126).
Jumlah massa tanah atau batuan yang tererosi dipengaruhi oleh faktor‑faktor sebagai berikut
1.Macam batuan
2.Kemiringan lereng
3.Iklim (curah hujan)
4.Tingkat kelebatan tetumbuhan
5.Organisme
6.Waktu
Sungai
Running water atau aliran air permukaan merupakan agen geologi yang paling penting dalam proses erosi, transportasi, dan deposisi sedimen. Hampir semua landscape di bumi terbentuk dari hasil erosi sungai atau deposisi. Sungai adalah suatu tubuh running water yang terkumpul pada suatu saluran dan bergerak menuju base level of erosion akibat pengaruh gaya gravitasi ( Plummer dkk, 2003, hal 224 ). Sungai umumnya berada pada suatu stream channel, yaitu suatu bentuk depresi yang panjang dan sempit yang tererosi oleh air sungai menjadi sedimen. Apabila jumlah air melebihi kapabilitas sungai untuk menampungnya, maka air akan meluap ke pinggir sungai, daerah yang dialiri air pada saat banjir disebut sebagai daerah dataran banjir ( flood plain ) (Plummer dkk, 2003:224). Sungai berawal dari daerah dengan kelerengan tinggi dan mengalir menuju daerah dengan kelerengan rendah yang pada akhirnya akan bermuara ke laut. Air akan mengalir menuju laut karena gaya gravitasi. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju laut tergantung pada kecepatan aliran sungai ( velocity ) yaitu jarak yang dilalui air per satuan waktu. Kecepatan aliran sungai berhubungan langsung dengan kemampuan sungai untuk mengerosi dan mentransportasikan material.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan aliran sungai, antara lain gradien sungai, karakteristik channel, dan discharge (Tarbuck & Lutgens, 2000, hal.92).
Gradien sungai, adalah kelerengan sungai yang diekspresikan oleh suatu penurunan vertikal pada jarak tertentu. Semakin besar gradiennya, semakin besar pula energi yang tersedia untuk mengalirkan air.
Karakteristik channel, channel sungai adalah suatu saluran yang mengendalikan aliran air, tetapi air tetap mengalami friksi selama mengalir. Bentuk, ukuran dan kekasaran channel berakibat pada jumlah friksi yang dialami air.
Semakin besar ukuran channel semakin efisien aliran air karena kecilnya proporsi air yang berkontak dengan channel. Suatu channel yang halus dan licin akan menghasilkan aliran air yang relatif seragam, sedangkan channel yang tidak beraturan akan menghasilkan boulder–boulder yang menyebabkan turbulensi yang akan melambatkan aliran sungai.
Discharge, adalah jumlah volume air yang mengalir per satuan waktu, satuannya dalam kubik meter per detik atau kubik feet per detik. Nilai discharge selalu berubah – ubah tergantung pada curah hujan dan pelelehan salju. Apabila jumlah air pada sungai bertambah maka kecepatan aliran air juga akan bertambah besar pula. Untuk mengatasi penambahan air, sungai akan memperbesar ukuran channel dengan cara memperlebar dan membuat dalam channel tersebut.
POLA PENYALURAN
Semua sungai, baik besar maupun kecil mempunyai penyaluran cekungan atau drainage basin. Drainage basin adalah semua daerah yang dialiri oleh sungai dan tributary, tributary yaitu sungai kecil yang mengalir menuju sungai yang lebih besar ( Tarbuck & Lutgens, 1984, hal 219 ). Drainage basin dari satu sungai dipisahkan dengan drainage basin dari sungai lainnya oleh garis khayal yang disebut sebagai divide atau garis pembatas. Sungai pada sistem drainage basin terbagi menjadi dua, yaitu sungai intermittent dan sungai perennial. Sungai intermittent adalah sungai yang berair hanya pada musim hujan, sedangkan sungai perennial adalah sungai yang berair sepanjang tahun. Semua sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola penyaluran. Bentuk dari pola penyaluran adalah beraneka ragam, tergantung dari struktur geologi dan litologi penyusun.
PROSES EROSI PADA SUNGAI
Erosi adalah berpindahnya material – material batuan dan tanah akibat adanya aktifitas air permukaan, dalam hal ini yaitu sungai. Sungai mengerosi batuan melalui tiga cara, yaitu hydraulic action, solution, dan abrasi ( Plummer dkk, 2003, hal 230 ).
1.Hydraulic action adalah kemampuan aliran air untuk mencongkel dan memindahkan batuan atau sedimen. Besarnya tenaga aliran air dapat memecahkan batuan dan membawa material pecahan tersebut sepanjang channel.
2.Solution ialah erosi yang terjadi akibat adanya pelapukan, hasil pelapukan pada batuan tersebut akan bercampur dengan air membentuk semacam larutan kimia.
3.Abrasi yaitu penggerusan batuan atau sedimen yang dilewati oleh aliran air.
MEKANISME TRANSPORTASI SUNGAI
Sedimen mengalami transportasi oleh sungai melalui tiga cara, yaitu dengan mekanisme bed load, mekanisme suspended load dan mekanisme dissolved load. ( Plummer dkk, 2003:231 – 232 ).
Mekanisme bed load Partikel – partikel sedimen terangkut pada dasar sungai. Partikel – partikel tersebut umumnya berukuran butir gravel – sand.
Pada mekanisme bed load ada beberapa macam cara partikel – partikel tertransportasikan :
1.Traksi, yaitu pengangkutan dengan cara terseret pada dasar sungai.
2.Rolling, partikel – partikel tersebut tertransportasikan dengan cara menggelinding di dasar sungai.
3.Saltasi, partikel – partikel tertransportasikan dengan cara melompat – lompat pada dasar sungai.
4.Mekanisme suspended load
Material – material sedimen tertransportasikan oleh sungai dengan cara melayang – layang di atas dasar sungai oleh turbulensi air. Material – material yang terangkut dengan cara ini umumnya berukuran butir lanau sampai lempung.
Mekanisme dissolved load
Umumnya material yang tertransportasikan dengan cara ini merupakan larutan hasil pelapukan kimia, misalnya ion – ion bikarbonat, kalsium, potassium, sodium, klorit, dan sulfat.
PROSES DEPOSISI PADA SUNGAI
Proses deposisi berlangsung apabila sungai tidak dapat lagi mentrasportasikan material – material yang dibawanya. Menurut Thornbury (1964, hal. 164 – 165), hal tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain :
Penurunan kecepatan aliran sungai.
Adanya hambatan disepanjang channel, misalnya akibat adanya aliran lava atau gerakan massa.
Penambahan material – material yang ditransportasikan sungai.
Berkurangan debit aliran akibat perubahan iklim.
Proses deposisi yang berlangsung secara terus – menerus dapat membentuk dataran banjir, braided streams, endapan gosong, alluvial fan, dan delta. Di samping air, angin juga merupakan pelaku dalam proses erosi. Erosi oleh angin dibagi menjadi dua macam yaitu deflasi dan abrasi
Deflasi adalah proses perpindahan materi permukaan bumi yang lepas‑lepas disebabkan oleh tiupan angin.
Abrasi adalah pengikisan materi permukaan bumi oleh angin dan butir‑butir materi yang terangkut.
Hasil pengendapan oleh angin yang tebal dan luas dan terdiri dari butir‑butir kuarts, feldspar, mika dan kalsit berukuran butir lempung, lanau dan pasir.
Gerakan Massa
Gerakan massa adalah proses berpindahnya tanah atau batuan disebabkan oleh gaya gravitasi bumi.
Gerakan massa ada beberapa macam yaitu :
Creeping (rayapan tanah) yaitu gerakan massa tanah sepanjang bidang batas dengan batuan induknya. Gerakannya sangat lambat, tidak dapat diikuti dengan pengamatan mata langsung. Baru diketahui setelah nampak adanya pohon atau tiang listrik/telpon yang miring.
Mudflow (aliran lumpur) yaitu gerakan massa yang relatif cair dan gerakannya relatif cepat. Sebagai contohya adalah aliran lahar
Debris Flow (aliran bahan rombakan) yaitu gerakan massa bahan rombakan yang kering dan bersifat lepas. Gerakannya relatif cepat
Rock Fall (jatuhan batuan) dan debris fall (jatuhan bahan rombakan) yaitu gerakan massa batuan atau bahan rombakan yang jatuh bebas karena adanya tebing terjal menggantung. Gerakannya cepat.
Debris slide dan Rock slide (Geseran bahan rombakan dan geseran batuan) yaitu gerakan massa batuan atau bahan rombakan yang menggeser sepanjang bidang rata dan miring, misalnya di sepanjang permukaan bidang lapisan batuan.
Slump adalah geseran melalui bidang lengkung
Subsidence (Amblesan) adalah gerakan massa tanah atau batuan yang relatif vertikal secara perlahan‑lahan.
Gerakan massa dipengaruhi oleh faktor‑faktor
1.Kekompakan tanah atau batuan
2.Vegetasi
3.Kemiringan lereng
4.Berat massa tanah atau batuan serta massa benda di atasnya
5.Kandungan air
6.Adanya bidang pelincir yang miring
7.Getaran bumi baik oleh gempa bumi maupun oleh sebab lain seperti lewatnya kendaraan berat.
PROSES EROSI PADA SUNGAI
Erosi adalah berpindahnya material – material batuan dan tanah akibat adanya aktifitas air permukaan, dalam hal ini yaitu sungai. Sungai mengerosi batuan melalui tiga cara, yaitu hydraulic action, solution, dan abrasi ( Plummer dkk, 2003, hal 230 ).
1.Hydraulic action adalah kemampuan aliran air untuk mencongkel dan memindahkan batuan atau sedimen. Besarnya tenaga aliran air dapat memecahkan batuan dan membawa material pecahan tersebut sepanjang channel.
2.Solution ialah erosi yang terjadi akibat adanya pelapukan, hasil pelapukan pada batuan tersebut akan bercampur dengan air membentuk semacam larutan kimia.
3.Abrasi yaitu penggerusan batuan atau sedimen yang dilewati oleh aliran air.
MEKANISME TRANSPORTASI SUNGAI
Sedimen mengalami transportasi oleh sungai melalui tiga cara, yaitu dengan mekanisme bed load, mekanisme suspended load dan mekanisme dissolved load. ( Plummer dkk, 2003:231 – 232 ).
Mekanisme bed load Partikel – partikel sedimen terangkut pada dasar sungai. Partikel – partikel tersebut umumnya berukuran butir gravel – sand.
Pada mekanisme bed load ada beberapa macam cara partikel – partikel tertransportasikan :
1.Traksi, yaitu pengangkutan dengan cara terseret pada dasar sungai.
2.Rolling, partikel – partikel tersebut tertransportasikan dengan cara menggelinding di dasar sungai.
3.Saltasi, partikel – partikel tertransportasikan dengan cara melompat – lompat pada dasar sungai.
4.Mekanisme suspended load
Material – material sedimen tertransportasikan oleh sungai dengan cara melayang – layang di atas dasar sungai oleh turbulensi air. Material – material yang terangkut dengan cara ini umumnya berukuran butir lanau sampai lempung.
Mekanisme dissolved load
Umumnya material yang tertransportasikan dengan cara ini merupakan larutan hasil pelapukan kimia, misalnya ion – ion bikarbonat, kalsium, potassium, sodium, klorit, dan sulfat.
PROSES DEPOSISI PADA SUNGAI
Proses deposisi berlangsung apabila sungai tidak dapat lagi mentrasportasikan material – material yang dibawanya. Menurut Thornbury (1964, hal. 164 – 165), hal tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain :
Penurunan kecepatan aliran sungai.
Adanya hambatan disepanjang channel, misalnya akibat adanya aliran lava atau gerakan massa.
Penambahan material – material yang ditransportasikan sungai.
Berkurangan debit aliran akibat perubahan iklim.
Proses deposisi yang berlangsung secara terus – menerus dapat membentuk dataran banjir, braided streams, endapan gosong, alluvial fan, dan delta. Di samping air, angin juga merupakan pelaku dalam proses erosi. Erosi oleh angin dibagi menjadi dua macam yaitu deflasi dan abrasi
Deflasi adalah proses perpindahan materi permukaan bumi yang lepas‑lepas disebabkan oleh tiupan angin.
Abrasi adalah pengikisan materi permukaan bumi oleh angin dan butir‑butir materi yang terangkut.
Hasil pengendapan oleh angin yang tebal dan luas dan terdiri dari butir‑butir kuarts, feldspar, mika dan kalsit berukuran butir lempung, lanau dan pasir.
Gerakan Massa
Gerakan massa adalah proses berpindahnya tanah atau batuan disebabkan oleh gaya gravitasi bumi.
Gerakan massa ada beberapa macam yaitu :
Creeping (rayapan tanah) yaitu gerakan massa tanah sepanjang bidang batas dengan batuan induknya. Gerakannya sangat lambat, tidak dapat diikuti dengan pengamatan mata langsung. Baru diketahui setelah nampak adanya pohon atau tiang listrik/telpon yang miring.
Mudflow (aliran lumpur) yaitu gerakan massa yang relatif cair dan gerakannya relatif cepat. Sebagai contohya adalah aliran lahar
Debris Flow (aliran bahan rombakan) yaitu gerakan massa bahan rombakan yang kering dan bersifat lepas. Gerakannya relatif cepat
Rock Fall (jatuhan batuan) dan debris fall (jatuhan bahan rombakan) yaitu gerakan massa batuan atau bahan rombakan yang jatuh bebas karena adanya tebing terjal menggantung. Gerakannya cepat.
Debris slide dan Rock slide (Geseran bahan rombakan dan geseran batuan) yaitu gerakan massa batuan atau bahan rombakan yang menggeser sepanjang bidang rata dan miring, misalnya di sepanjang permukaan bidang lapisan batuan.
Slump adalah geseran melalui bidang lengkung
Subsidence (Amblesan) adalah gerakan massa tanah atau batuan yang relatif vertikal secara perlahan‑lahan.
Gerakan massa dipengaruhi oleh faktor‑faktor
1.Kekompakan tanah atau batuan
2.Vegetasi
3.Kemiringan lereng
4.Berat massa tanah atau batuan serta massa benda di atasnya
5.Kandungan air
6.Adanya bidang pelincir yang miring
7.Getaran bumi baik oleh gempa bumi maupun oleh sebab lain seperti lewatnya kendaraan berat.
Perkembangan Teknik Hibridoma
PRINSIP PEMBUATAN ANTIBODI MONOKLONAL
Tujuannya ialah menciptakan sel pembuat antibody homo- gen yang dapat dibiakkan terus menerus (immortal), melalui :
1) Fusi sel limpa kebal dan sel mieloma
Pada kondisi biakanjaringan biasa, sel limpa yang membuat antibodi akan cepat mati sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan terus menerus. Fusi sel dapat menciptakan sel hibnd yang membuat antibody seperti sel timpa dan dapat dibiakkan terus menerus seperti sel mieloma (9,10,11)
2) Eliminasi sel induk yang tidak fusi
Frekuensi terjadinya hibrid sel timpa-sel mieloma biasanya rendah, karena itu penting untuk mematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnya lebih banyak agar sel hibrid mempunyai kesempatan untuk tumbuh, dengan cara menggunakan:
(i) Sel mieloma mutan yang mempunyai kelainan (defect) sintesis nukleotida yaitu sel mieloma yang tidak mempunyai enzim timidin kinase (TK) atau hypoxanthine phosphoribosyt transferase (HGPRT) sehingga dalam sintesis nukleotida tidak dapat menggunakan salvage pathway dan
(ii) Media selektif yang dikembangkan oleh Littlefield, me- ngandung hypoxanthine, aminopterin dan thymidine (HAT). Aminopteninmenghambatjalan biasa biosintesis purin dan piri- midin sehingga memaksa sel menggunakan salvage pathway. Sel yang tidak fusi karena tidak mempunyai enzim timidin kinase atau hypoxanthine phosphonibosyttransferase akan mati, se- dangkan sel hibrid karena mendapatkan enzim tersebut dan sel mamalia yang difusikan dapat menggunakan salvage pathway sehingga tetap hidup dan berkembang (10,12).
3) Isolasi Mon yang diinginkan
Sel hibrid dikembang biakkan sedemikian sehingga tiap sel hibrid akan membentuk kotoni sendiri. Tiap koloni kemudian dipelihara terpisah satu sama lain. Hibridoma yang terbentuk di- pilih dengan cara mendeteks antibodi yang disekresikan dalam medium. Kadarantibodi biasanya cukuptinggi, sehingga banyak uji serologi yang dapat digunakan tergantung jumlah antigen spesifik yang tersedia, tetapi yang paling sering digunakan adalah radioimmunoassay (RIA) dan enzyme linked immunosorbent assay (EL1SA).
4) Produksi antibodi monokional spesifik
Setelah klon hibridoma yang diinginkan dapat diisoiasi, maka produksi antibodi monokional dapat dilakukan dengan cara :
(i) in vitro, membiakkan pada medium biakan jaringan dan antibodi dapat dipanen dan supernatan. Kadar pada umumnya 10?100 ug/ml supernatan,
(ii) in vivo, mentranspiantasikan intraperitoneal pada binatang, antibodi dipanen dan cairan asites. Kadar pada umumnya 1-25 mg/ml cairan asites (10,12) .
PERKEMBANGAN TEKNIK HIBRIDOMA
Sejak diperkenaikan, teknik hibridoma telah banyak mengalami perkembangan untuk mendapatkan klon secara efisien dan hibridoma yang hidup secara maksima (13) . Sejalan dengan tujuan maka pengembangan timbul pada cara-cara:
1) Imunisasi
Hibridoma merupakan hasii fusi 2 sei yaitu sd mieioma dan sel B penghasii antibodi. Karena itu supaya memperbanyak sel B spesifik terhadap antigen yang diinginkan penting supaya popu- lasi sel B pesifik jumlahnya lebih banyak sehingga hasil fusi mencapai maksimal. Banyaknya sel B spesifik dipengaruhi anti- gen baik caranya stimuiasi maupun sifat dan antigen sendiri, Se- hingga untuk memperbanyak sel B spesifik, dilakukan berbagai cara imunisasi, yaitu:
(i) Konvensional
Cara ini sebenarnya sama dengan cara imunisasi untuk membuat antibodi poiikional. Antigen berupa protein atau poli- sakanida dalam volume yang sama diemulsikan dengan complete Freuncfs adjuvant, bila antigen seluier dibuat tanpa ajuvan. Antigen disuntikkan subkutan pada beberapa tempat atau intra- peritoneai, setelah 2?3 minggu disusul suntikan antigen tanpa ajuvan secara intravena sekali atau beberapa kaii. Mencit dengan tanggap kebal terbaik dipilih, 1?2 hari setelah suntikan terakhir mencit dibunuh dan diambil sel limpanya (11,12) . Cara ini dianggap cukup baik dan secara umum banyak dipakai, walaupun di- pengaruhi sifat antigen berupa imunogen kuat atau lemah serta tanggap kebal binatang yang berbeda-beda. Bila informasi anti- gen yang iengkap tidak bisa didapatkan cara imunisasi ini ter- bukti memberi hasil cukup baik (11) ..
(ii) Imunisasi sekali suntik intralimpa (Single-shot intrasplenic immunization) Pada imunisasi konvensional, antigen dipengaruhi ber- macam-macam faktor. Bila disuntikkan ke dalam darah sebagian besar akan dibuang secaraaiami, sedangkan melalui kulit akan tersaring kelenjar limfe regional, makrofag dan sel retikuler. Hanya sebagian kecii antigen yang terlibat daiam proses tanggap
kebal. Pada hibridoma yang diperlukan adalah sel limpa, karena itu untuk mencegah eiimin antigen oleh bagian lain dari tubuh dilakukan suntikan imunisasi langsung pada limpa dan ternyata hasilnya lebih baik dan cara konvensional (14) . Selain memberi- kan hasil klon spesifik yang lebih banyak, imunisasi intraiimpa ini memberi keuntungan yang lain :
(1) Pemakaian antigen yang sangat hemat, misalnya untuk imunisasi dengan 1gM manusia hanya diperiukan 20 ug, sedangkan untuk antigen berupa sel hanya diperlukan 200.000 sel, sehingga dapat dibuat hibridoma dan antigen yang terbatas jumiahnya. Karena hampir semua binatang percobaan membeni tanggap kebal yang baik, tidak di- periukan binatang dalam jumlah yang besar (14) .
(2) Fusi dapat dilakukan dalam waktu 3 hari seteiah imunisasi (14) .
(iii) Imunisasi in vitro
Tidak ditemukannya antibodi monokional spesifik sering karena kegagalan stimulasi limfosit B pada imunisasi in vivo. ini mungkin disebabkan toleransi atau adanya antigen hierarchy response (reaksi tanggap kebai hanya terhadap beberapa kom- ponen antigen). Sering terjadi seteiah imunisasi dengan antigen yang Iemah, wataupun titer antibodinya tinggi ternyata gagal mendapatkan hibridoma spesifik karena rendahnya jumtah sel B spesifik dalam limpa, maka untuk mengatasinya dilakukan imunisasi in vitro (15) Pada prinsipnya sel timpa belum imun ditambah antigen dan TCM (thymocyte culture-conditioned medium) yaitu medium biakan sel thymus setelah inkubasi 48 jam. Antigen dapat benupa antigen tertarut sebanyak 30?1000 ug atau sel yang difiksasi aikohol atau yang diradiasi 4500 rad dengan Cesium radioaktif. Setelah diinkubasikan 37?C selama 5 hari akan banyak dijumpai sel blast yang besar dan pada keadaan ini sel siap untuk dilakukan fusi (15) Sebagai contoh kebenhasiian imunisasi in vitro : melalui imunisasi in vitro dengan 107 sel acute myeloid leukemia (AML) yang difiksasi alkohol, 31 dan 96 sumur biakan menghasilkan hibridoma spesifik dan antibodi dan 6 dari klon ternyata sangat spesifik karena tidak beneaksi dengan sel darah penifer maupun sel sumsum tuiang. Hasil ini berbeda bila dibandingkan melalui imunisasi in vivo, antibodi yang dihasiikan sebagian besar bereaksi dengan major histocompatibility antigen atau major rnyeloid differentiation antigen yang merupakan bagian terbanyak dari permukaan sel (15) . Perkembangan selanjutnya merupakan penyederhanaan kon- disi imunisasi in vitro yaitu menggunakan medium yang biasa untuk biakan jaringan yaltu RPMI (Roswell Park Memorial Institute) atau DMEM (Dulbeco `s Mod Eagle's Medium) dan ajuvan peptida yang mudah didapat, N-acetytmuramyl-L-alanyi- D-isoglutamine. Cara ini terbukti telah meningkatkan jumlah hibridoma pembuat antibodi sertajumlah hibridoma yang dapat
bertahan hidup. Pada pninsipnya cara ini sama dengan di atas, yaitu sel limpa beium imun ditambah antigen dan 20 ug N- acetylmuramyi-L-alanyi-D-iso- glutamine, diinkubasikan 37?C dengan 5% CO 2 95% udara setama 4 hari (16) . Berhasilnya imu- nisasi in vitro ini telah membuka petuang dilakukannya stimulasi in vitro sel B manusia, karena imunisasi in vivo tidak dapat di- jaiankan karena dibatasi etika, yang seianjutnya diikuti fusi dengan sel mieloma manusia atau transformasi dengan virus Epstein-Barr sehingga dapat dibuat antibodi monoktonat ma- nusia(16) .
2) Pilihan sel mieloma
Yang rnenjadi pertimbangan dalam memilih sel mieloma, adalah:
a) Spesies
Sd mieloma yang berasal dari spesies yang sama dengan binatang yang diimunisasi akan mengurangi segregasi kromo- som pasca fusi. Contoh yang ekstrim ialah hibridoma sel mieloma mencit dengan sel limpa manusia,kromosom sel manusia dengan cepat mengalami segregasi sehingga hasil hibrid menjadi tidak stabi1 (11,17) . Dalam perkembangannya, pemilihan sel mieloma yang berbeda spesies dapat dilakukan terutama untuk tujuan ter- tentu. Hibrid sel mencit dengan tikus telah dibuat dan berhasil baik, tetapi perbedaan spesies yang terlalu jauh dikatakan tidak produktif (18) . Walaupun pembuatan antibodi monokional mencitdan tikus sudah berhasil baik, gunanya secara klinis sangat terbatas karena tetap merupakan protein asing untuk manusia. Karena itu dikem- bangkan hibrid manusia dengan mengembangkan sel mieloma manusia yang sensitif terhadap hypoxanthinc-aminopterin- thymidine. Tim dari Stanford University telah berhasil membuat galur sel mieloma tersebut yaitu U-266 AR1 dengan nomor registrasi SKO-007. Sayangnya galur ini masih membuat sendiri IgE (19).
b) Sintesis imunoglobulin
Sel hibridoma mengekspresikan rantai imunoglobulin se- cara codominant, sehingga imunoglobulin dan sel mieloma akan diekspresikan bersama imunoglobulin dan sel limpa dengan kombinasi secara acak (19). Sebagai contoh, bila sel mieloma membentuk rantai berat dan rantai ringan imunoglobulin, seperti juga halnya dengan sel limpa, maka imunoglobulin dan sel hibrid merupakan kombinasi acak dari ke-4 rantai dan antibodi spesifik hanya terdapat 1/16 dari seluruh imunoglobutin yang terben- tuk (20) . Karena itu pengembangan diarahkan untuk membuat sel mieloma yang tidak membuat rantai imunoglobulin tetapi tetap dapat fusi dengan baik. Gatur sel mieloma mencit SP2/O-Ag14 yang merupakan hasil reclone SP2/HI-Ag adalah sel mieloma pertama yang tidak membentuk rantai imunogtobutin (20) . Ber- bagai jenis mieloma dapat dilihat pada Tabel 1.
3) Medium biakan
Medium biakan umumnya DMEM atau RPMI 1640 dengan tambahan fetal calfserum (FCS) dan aditif lainnya. Yang menjadi masalah adalah FCS harganya mahal, sutit didapat dan kuali- tasnya sangat bervariasi tergantung sumbernya bahkan juga bervariasi untuk tiap batch. Penambahan FCS sangat penting, bahkan pada waktu fusi, seleksi dan cloning kadar FCS dalam medium sering dinaikkan. Dipilih FCS karena kandungan imunogtobulinnya rendah sehingga tidak mempengaruhi assay serta sangat mendukung tumbuh dan kembang biak sel (11) . Usaha pengembangan dilakukan untuk mendapatkan me- dium tanpa serum karena memberi keuntungan: ? memungkinkan penetitian yang tak memperbotehkan adanya protein serum atau bahan-bahan dan serum misatnya hormon, antibodi. ? ekonomis, terutama untuk menumbuhkan sel dalam skala besar. ? mempermudah pemurnian antibodi monokional, bahkan pada beberapa keadaan, antibodi monokional dapat langsung digunakan tanpa pemurnian (21) . Salah satu dari medium tanpa serum adalah Serum-free KSLM medium yang menggunakan medium dasar RPMI 1640 + DMEM + Hams F-12 medium dengan perbandingan 2: 1: 1, ditambah insulin, 2-amino etanol, 2-merkaptoetanot, natrium selenit, LDL manusia, asam oleat dalam kompleks dengan albumin serum sapi (BSA) (22) . Serum- free KSLM medium terbukti sama baiknya untuk menumbuhkan sel mieloma NS- 1 dan sel hibnidoma (Tabet 2), dibandingkan medium dengan 10% FCS. Harus menjadi perhatian bahwa tidak semuajenis sel mieloma atau hibridoma cocok dengan medium tanpa serum (21) .
4) Fusi sel
Fusi sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasitkan sel besar dengan dua atau lebih inti yang berasal dari kedua induk sel yang berbedajenis, disebut heterokaryon, pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk 1 inti yang me- ngandung knomosom kedua induk disebut sebagai sel hybrid (17) .
Frekuensi fusi dipengaruhi bermacam?macam faktor:
? jenis medium.
? perbandingan jumtah sel timpa dengan sel mieloma.
? jenis sel mieloma yang digunakan.
? bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusogen), misainya polyethylene glycol (23) .
Secara garis besar fusogen dibagi menjadi 2 kategori:
? Virus berselubung. Yang sering digunakan adalah virus Sendai (17,24) .
? Reagensia tipofitik atau tipolitik, misal lysole cithin dan polyethylene g1ycol (17) .
Pada awal penelitiannya Kohier dan Milstein menggunakan virus Sendai yang inaktif sebagai fusogen (3) , tetapi karena sulit menyiapkannya, efisiensinya sangat bervariasi dan hanya men- dorong fusi pada beberapa jenis sel saja, maka fusogen diganti dengan polyethylene glycol yang lebih mudah didapat dan dapat mendorong fusi pada sel dengan jenis yang lebih luas (17) . Pengem- bangan fusi sel banyak diarahkan untuk menaikkan efisiensi fusi yang dianggap masih rendah, antara lain dengan cara: ? mengembangkan fusogen Polyethyleneglycol (PEG) secara luas sudah digunakan se- bagai fusogen, biasanya dengan berat molekul 1000?6000, kon- sentrasi 50%. Penambahan PEG dengan DMSO (dimethylsul- phoxide) ternyata dapat menaikkan efisiensi fusi (17) . ? mengembangkan teknik fusi lain,yaitu menggunakan medan listrik pada limfoblas (25) .
5) Penumbuhan hibndoma
Berdasarkan pengamatan Fazekas de St Groth dan Schei- degger, penumbuhan hibrid pasca fusi yang dilakukan dengan feeder cell (sel limpa tidak imun) memberi hasil yang lebih konstan dibanding tanpa feeder cell (18) . Sebagai feeder system dapat digunakan sel limpa tidak imun, thymocyte, makrofag peritoneum, fibroblas manusia yang telah diradiasi (18), lipopoli- sakarida (LPS), supernatan makrofag, supernatan biakan endotel manusia dan serum darah tali pusat manusia (13) . Dalam feeder system terdapat faktor pendorong penumbuhan sel, sebagai con- toh: ? mitogen lipopolisakarida (LPS), efeknya diperkuat dengan penambahan dextran sufat. ? supernatan makrofag mengandung monokin (interleukin-1) menimbulkan aktivasi limfosit. ? supernatan biakan endotel pembuluh darah manusia dapat mendorong proliferasi dan diferensiasi hibridoma sel B, faktor mitogennya sampai sekarang betum diketahui. Demikian juga dengan serum tali pusat manusia yang sampai saat ini belum
diketahui faktor yang mendorong tumbuhnya hibridoma (13) . Penambahan feeder system terbukti menaikkan frekuensi sel limpa pembentuk klon dan frekuensi terbentuknya klon yang membuat antibodi setelah fusi (Tabel 3)
(13)
KESIMPULAN
Hibridoma merupakan fusi sel limfosit B dengan sel mieloma, yang dapat dibiakkan terus menerus. Karena hibridoma sel limfosit B tetap mempertahankan ekspresi gen imunoglobulin maka dimanfaatkan untuk membuat antibodi monoklonal. Frekuensi timbulnya hibrid setelah fusi sangat rendah, karena itu pengembangannya banyak diarahkan untuk menaikkan frekuensi fusi dan mendapatkan klon hidup secara maksimal. Cara imunisasi konvensional memberi hasil cukup baik, tetapi cara imunisasi sekali suntik intratimpa dan in vitro mem- beri hasil lebih baik, lebih hemat antigen serta waktunya lebih singkat, bahkan imunisasi in vitro membuka peluang dilakukan- nya imunisasi limfosit B manusia, dimana imunisasi in vivo tidak dapat dilakukan karena dibatasi etika. Pilihan sel mieloma makin beragam, baik spesies (mencit, tikus, manusia) maupun sifatnya, makin ideal untuk membuat antibodi monokional dengan dikembangkannya galur sel mieloma yang tidak membentuk rantai imunogtobulin. Medium dasar ditambah FCS (fetal calf serum) secara umum cukup baik, tetapi FCS merupakan hambatan karena harganya mahal, sulit di- dapatkan serta hasilnya bervariasi. Karana itu dikembangkan medium tanpa serum sehingga penelitian yang perlu keadaan tanpa serum dapat dilakukan dan biaya pemeliharaan sd dalam skala besar akan lebih murah. Untuk mendorong timbulnya fusi sel banyak digunakan polyethyleneglycol (PEG) yang mudah didapat dan cukup efek- tif. Pengembangan dilakukan untuk memperbaiki frekuensi fusi dengan menambahkan DMSO bersama PEG dan penggunaan medan listnik. Penambahan bermacam-macam feeder system, terbukti dapat mendorong penumbuhan hibridoma.
Tujuannya ialah menciptakan sel pembuat antibody homo- gen yang dapat dibiakkan terus menerus (immortal), melalui :
1) Fusi sel limpa kebal dan sel mieloma
Pada kondisi biakanjaringan biasa, sel limpa yang membuat antibodi akan cepat mati sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan terus menerus. Fusi sel dapat menciptakan sel hibnd yang membuat antibody seperti sel timpa dan dapat dibiakkan terus menerus seperti sel mieloma (9,10,11)
2) Eliminasi sel induk yang tidak fusi
Frekuensi terjadinya hibrid sel timpa-sel mieloma biasanya rendah, karena itu penting untuk mematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnya lebih banyak agar sel hibrid mempunyai kesempatan untuk tumbuh, dengan cara menggunakan:
(i) Sel mieloma mutan yang mempunyai kelainan (defect) sintesis nukleotida yaitu sel mieloma yang tidak mempunyai enzim timidin kinase (TK) atau hypoxanthine phosphoribosyt transferase (HGPRT) sehingga dalam sintesis nukleotida tidak dapat menggunakan salvage pathway dan
(ii) Media selektif yang dikembangkan oleh Littlefield, me- ngandung hypoxanthine, aminopterin dan thymidine (HAT). Aminopteninmenghambatjalan biasa biosintesis purin dan piri- midin sehingga memaksa sel menggunakan salvage pathway. Sel yang tidak fusi karena tidak mempunyai enzim timidin kinase atau hypoxanthine phosphonibosyttransferase akan mati, se- dangkan sel hibrid karena mendapatkan enzim tersebut dan sel mamalia yang difusikan dapat menggunakan salvage pathway sehingga tetap hidup dan berkembang (10,12).
3) Isolasi Mon yang diinginkan
Sel hibrid dikembang biakkan sedemikian sehingga tiap sel hibrid akan membentuk kotoni sendiri. Tiap koloni kemudian dipelihara terpisah satu sama lain. Hibridoma yang terbentuk di- pilih dengan cara mendeteks antibodi yang disekresikan dalam medium. Kadarantibodi biasanya cukuptinggi, sehingga banyak uji serologi yang dapat digunakan tergantung jumlah antigen spesifik yang tersedia, tetapi yang paling sering digunakan adalah radioimmunoassay (RIA) dan enzyme linked immunosorbent assay (EL1SA).
4) Produksi antibodi monokional spesifik
Setelah klon hibridoma yang diinginkan dapat diisoiasi, maka produksi antibodi monokional dapat dilakukan dengan cara :
(i) in vitro, membiakkan pada medium biakan jaringan dan antibodi dapat dipanen dan supernatan. Kadar pada umumnya 10?100 ug/ml supernatan,
(ii) in vivo, mentranspiantasikan intraperitoneal pada binatang, antibodi dipanen dan cairan asites. Kadar pada umumnya 1-25 mg/ml cairan asites (10,12) .
PERKEMBANGAN TEKNIK HIBRIDOMA
Sejak diperkenaikan, teknik hibridoma telah banyak mengalami perkembangan untuk mendapatkan klon secara efisien dan hibridoma yang hidup secara maksima (13) . Sejalan dengan tujuan maka pengembangan timbul pada cara-cara:
1) Imunisasi
Hibridoma merupakan hasii fusi 2 sei yaitu sd mieioma dan sel B penghasii antibodi. Karena itu supaya memperbanyak sel B spesifik terhadap antigen yang diinginkan penting supaya popu- lasi sel B pesifik jumlahnya lebih banyak sehingga hasil fusi mencapai maksimal. Banyaknya sel B spesifik dipengaruhi anti- gen baik caranya stimuiasi maupun sifat dan antigen sendiri, Se- hingga untuk memperbanyak sel B spesifik, dilakukan berbagai cara imunisasi, yaitu:
(i) Konvensional
Cara ini sebenarnya sama dengan cara imunisasi untuk membuat antibodi poiikional. Antigen berupa protein atau poli- sakanida dalam volume yang sama diemulsikan dengan complete Freuncfs adjuvant, bila antigen seluier dibuat tanpa ajuvan. Antigen disuntikkan subkutan pada beberapa tempat atau intra- peritoneai, setelah 2?3 minggu disusul suntikan antigen tanpa ajuvan secara intravena sekali atau beberapa kaii. Mencit dengan tanggap kebal terbaik dipilih, 1?2 hari setelah suntikan terakhir mencit dibunuh dan diambil sel limpanya (11,12) . Cara ini dianggap cukup baik dan secara umum banyak dipakai, walaupun di- pengaruhi sifat antigen berupa imunogen kuat atau lemah serta tanggap kebal binatang yang berbeda-beda. Bila informasi anti- gen yang iengkap tidak bisa didapatkan cara imunisasi ini ter- bukti memberi hasil cukup baik (11) ..
(ii) Imunisasi sekali suntik intralimpa (Single-shot intrasplenic immunization) Pada imunisasi konvensional, antigen dipengaruhi ber- macam-macam faktor. Bila disuntikkan ke dalam darah sebagian besar akan dibuang secaraaiami, sedangkan melalui kulit akan tersaring kelenjar limfe regional, makrofag dan sel retikuler. Hanya sebagian kecii antigen yang terlibat daiam proses tanggap
kebal. Pada hibridoma yang diperlukan adalah sel limpa, karena itu untuk mencegah eiimin antigen oleh bagian lain dari tubuh dilakukan suntikan imunisasi langsung pada limpa dan ternyata hasilnya lebih baik dan cara konvensional (14) . Selain memberi- kan hasil klon spesifik yang lebih banyak, imunisasi intraiimpa ini memberi keuntungan yang lain :
(1) Pemakaian antigen yang sangat hemat, misalnya untuk imunisasi dengan 1gM manusia hanya diperiukan 20 ug, sedangkan untuk antigen berupa sel hanya diperlukan 200.000 sel, sehingga dapat dibuat hibridoma dan antigen yang terbatas jumiahnya. Karena hampir semua binatang percobaan membeni tanggap kebal yang baik, tidak di- periukan binatang dalam jumlah yang besar (14) .
(2) Fusi dapat dilakukan dalam waktu 3 hari seteiah imunisasi (14) .
(iii) Imunisasi in vitro
Tidak ditemukannya antibodi monokional spesifik sering karena kegagalan stimulasi limfosit B pada imunisasi in vivo. ini mungkin disebabkan toleransi atau adanya antigen hierarchy response (reaksi tanggap kebai hanya terhadap beberapa kom- ponen antigen). Sering terjadi seteiah imunisasi dengan antigen yang Iemah, wataupun titer antibodinya tinggi ternyata gagal mendapatkan hibridoma spesifik karena rendahnya jumtah sel B spesifik dalam limpa, maka untuk mengatasinya dilakukan imunisasi in vitro (15) Pada prinsipnya sel timpa belum imun ditambah antigen dan TCM (thymocyte culture-conditioned medium) yaitu medium biakan sel thymus setelah inkubasi 48 jam. Antigen dapat benupa antigen tertarut sebanyak 30?1000 ug atau sel yang difiksasi aikohol atau yang diradiasi 4500 rad dengan Cesium radioaktif. Setelah diinkubasikan 37?C selama 5 hari akan banyak dijumpai sel blast yang besar dan pada keadaan ini sel siap untuk dilakukan fusi (15) Sebagai contoh kebenhasiian imunisasi in vitro : melalui imunisasi in vitro dengan 107 sel acute myeloid leukemia (AML) yang difiksasi alkohol, 31 dan 96 sumur biakan menghasilkan hibridoma spesifik dan antibodi dan 6 dari klon ternyata sangat spesifik karena tidak beneaksi dengan sel darah penifer maupun sel sumsum tuiang. Hasil ini berbeda bila dibandingkan melalui imunisasi in vivo, antibodi yang dihasiikan sebagian besar bereaksi dengan major histocompatibility antigen atau major rnyeloid differentiation antigen yang merupakan bagian terbanyak dari permukaan sel (15) . Perkembangan selanjutnya merupakan penyederhanaan kon- disi imunisasi in vitro yaitu menggunakan medium yang biasa untuk biakan jaringan yaltu RPMI (Roswell Park Memorial Institute) atau DMEM (Dulbeco `s Mod Eagle's Medium) dan ajuvan peptida yang mudah didapat, N-acetytmuramyl-L-alanyi- D-isoglutamine. Cara ini terbukti telah meningkatkan jumlah hibridoma pembuat antibodi sertajumlah hibridoma yang dapat
bertahan hidup. Pada pninsipnya cara ini sama dengan di atas, yaitu sel limpa beium imun ditambah antigen dan 20 ug N- acetylmuramyi-L-alanyi-D-iso- glutamine, diinkubasikan 37?C dengan 5% CO 2 95% udara setama 4 hari (16) . Berhasilnya imu- nisasi in vitro ini telah membuka petuang dilakukannya stimulasi in vitro sel B manusia, karena imunisasi in vivo tidak dapat di- jaiankan karena dibatasi etika, yang seianjutnya diikuti fusi dengan sel mieloma manusia atau transformasi dengan virus Epstein-Barr sehingga dapat dibuat antibodi monoktonat ma- nusia(16) .
2) Pilihan sel mieloma
Yang rnenjadi pertimbangan dalam memilih sel mieloma, adalah:
a) Spesies
Sd mieloma yang berasal dari spesies yang sama dengan binatang yang diimunisasi akan mengurangi segregasi kromo- som pasca fusi. Contoh yang ekstrim ialah hibridoma sel mieloma mencit dengan sel limpa manusia,kromosom sel manusia dengan cepat mengalami segregasi sehingga hasil hibrid menjadi tidak stabi1 (11,17) . Dalam perkembangannya, pemilihan sel mieloma yang berbeda spesies dapat dilakukan terutama untuk tujuan ter- tentu. Hibrid sel mencit dengan tikus telah dibuat dan berhasil baik, tetapi perbedaan spesies yang terlalu jauh dikatakan tidak produktif (18) . Walaupun pembuatan antibodi monokional mencitdan tikus sudah berhasil baik, gunanya secara klinis sangat terbatas karena tetap merupakan protein asing untuk manusia. Karena itu dikem- bangkan hibrid manusia dengan mengembangkan sel mieloma manusia yang sensitif terhadap hypoxanthinc-aminopterin- thymidine. Tim dari Stanford University telah berhasil membuat galur sel mieloma tersebut yaitu U-266 AR1 dengan nomor registrasi SKO-007. Sayangnya galur ini masih membuat sendiri IgE (19).
b) Sintesis imunoglobulin
Sel hibridoma mengekspresikan rantai imunoglobulin se- cara codominant, sehingga imunoglobulin dan sel mieloma akan diekspresikan bersama imunoglobulin dan sel limpa dengan kombinasi secara acak (19). Sebagai contoh, bila sel mieloma membentuk rantai berat dan rantai ringan imunoglobulin, seperti juga halnya dengan sel limpa, maka imunoglobulin dan sel hibrid merupakan kombinasi acak dari ke-4 rantai dan antibodi spesifik hanya terdapat 1/16 dari seluruh imunoglobutin yang terben- tuk (20) . Karena itu pengembangan diarahkan untuk membuat sel mieloma yang tidak membuat rantai imunoglobulin tetapi tetap dapat fusi dengan baik. Gatur sel mieloma mencit SP2/O-Ag14 yang merupakan hasil reclone SP2/HI-Ag adalah sel mieloma pertama yang tidak membentuk rantai imunogtobutin (20) . Ber- bagai jenis mieloma dapat dilihat pada Tabel 1.
3) Medium biakan
Medium biakan umumnya DMEM atau RPMI 1640 dengan tambahan fetal calfserum (FCS) dan aditif lainnya. Yang menjadi masalah adalah FCS harganya mahal, sutit didapat dan kuali- tasnya sangat bervariasi tergantung sumbernya bahkan juga bervariasi untuk tiap batch. Penambahan FCS sangat penting, bahkan pada waktu fusi, seleksi dan cloning kadar FCS dalam medium sering dinaikkan. Dipilih FCS karena kandungan imunogtobulinnya rendah sehingga tidak mempengaruhi assay serta sangat mendukung tumbuh dan kembang biak sel (11) . Usaha pengembangan dilakukan untuk mendapatkan me- dium tanpa serum karena memberi keuntungan: ? memungkinkan penetitian yang tak memperbotehkan adanya protein serum atau bahan-bahan dan serum misatnya hormon, antibodi. ? ekonomis, terutama untuk menumbuhkan sel dalam skala besar. ? mempermudah pemurnian antibodi monokional, bahkan pada beberapa keadaan, antibodi monokional dapat langsung digunakan tanpa pemurnian (21) . Salah satu dari medium tanpa serum adalah Serum-free KSLM medium yang menggunakan medium dasar RPMI 1640 + DMEM + Hams F-12 medium dengan perbandingan 2: 1: 1, ditambah insulin, 2-amino etanol, 2-merkaptoetanot, natrium selenit, LDL manusia, asam oleat dalam kompleks dengan albumin serum sapi (BSA) (22) . Serum- free KSLM medium terbukti sama baiknya untuk menumbuhkan sel mieloma NS- 1 dan sel hibnidoma (Tabet 2), dibandingkan medium dengan 10% FCS. Harus menjadi perhatian bahwa tidak semuajenis sel mieloma atau hibridoma cocok dengan medium tanpa serum (21) .
4) Fusi sel
Fusi sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasitkan sel besar dengan dua atau lebih inti yang berasal dari kedua induk sel yang berbedajenis, disebut heterokaryon, pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk 1 inti yang me- ngandung knomosom kedua induk disebut sebagai sel hybrid (17) .
Frekuensi fusi dipengaruhi bermacam?macam faktor:
? jenis medium.
? perbandingan jumtah sel timpa dengan sel mieloma.
? jenis sel mieloma yang digunakan.
? bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusogen), misainya polyethylene glycol (23) .
Secara garis besar fusogen dibagi menjadi 2 kategori:
? Virus berselubung. Yang sering digunakan adalah virus Sendai (17,24) .
? Reagensia tipofitik atau tipolitik, misal lysole cithin dan polyethylene g1ycol (17) .
Pada awal penelitiannya Kohier dan Milstein menggunakan virus Sendai yang inaktif sebagai fusogen (3) , tetapi karena sulit menyiapkannya, efisiensinya sangat bervariasi dan hanya men- dorong fusi pada beberapa jenis sel saja, maka fusogen diganti dengan polyethylene glycol yang lebih mudah didapat dan dapat mendorong fusi pada sel dengan jenis yang lebih luas (17) . Pengem- bangan fusi sel banyak diarahkan untuk menaikkan efisiensi fusi yang dianggap masih rendah, antara lain dengan cara: ? mengembangkan fusogen Polyethyleneglycol (PEG) secara luas sudah digunakan se- bagai fusogen, biasanya dengan berat molekul 1000?6000, kon- sentrasi 50%. Penambahan PEG dengan DMSO (dimethylsul- phoxide) ternyata dapat menaikkan efisiensi fusi (17) . ? mengembangkan teknik fusi lain,yaitu menggunakan medan listrik pada limfoblas (25) .
5) Penumbuhan hibndoma
Berdasarkan pengamatan Fazekas de St Groth dan Schei- degger, penumbuhan hibrid pasca fusi yang dilakukan dengan feeder cell (sel limpa tidak imun) memberi hasil yang lebih konstan dibanding tanpa feeder cell (18) . Sebagai feeder system dapat digunakan sel limpa tidak imun, thymocyte, makrofag peritoneum, fibroblas manusia yang telah diradiasi (18), lipopoli- sakarida (LPS), supernatan makrofag, supernatan biakan endotel manusia dan serum darah tali pusat manusia (13) . Dalam feeder system terdapat faktor pendorong penumbuhan sel, sebagai con- toh: ? mitogen lipopolisakarida (LPS), efeknya diperkuat dengan penambahan dextran sufat. ? supernatan makrofag mengandung monokin (interleukin-1) menimbulkan aktivasi limfosit. ? supernatan biakan endotel pembuluh darah manusia dapat mendorong proliferasi dan diferensiasi hibridoma sel B, faktor mitogennya sampai sekarang betum diketahui. Demikian juga dengan serum tali pusat manusia yang sampai saat ini belum
diketahui faktor yang mendorong tumbuhnya hibridoma (13) . Penambahan feeder system terbukti menaikkan frekuensi sel limpa pembentuk klon dan frekuensi terbentuknya klon yang membuat antibodi setelah fusi (Tabel 3)
(13)
KESIMPULAN
Hibridoma merupakan fusi sel limfosit B dengan sel mieloma, yang dapat dibiakkan terus menerus. Karena hibridoma sel limfosit B tetap mempertahankan ekspresi gen imunoglobulin maka dimanfaatkan untuk membuat antibodi monoklonal. Frekuensi timbulnya hibrid setelah fusi sangat rendah, karena itu pengembangannya banyak diarahkan untuk menaikkan frekuensi fusi dan mendapatkan klon hidup secara maksimal. Cara imunisasi konvensional memberi hasil cukup baik, tetapi cara imunisasi sekali suntik intratimpa dan in vitro mem- beri hasil lebih baik, lebih hemat antigen serta waktunya lebih singkat, bahkan imunisasi in vitro membuka peluang dilakukan- nya imunisasi limfosit B manusia, dimana imunisasi in vivo tidak dapat dilakukan karena dibatasi etika. Pilihan sel mieloma makin beragam, baik spesies (mencit, tikus, manusia) maupun sifatnya, makin ideal untuk membuat antibodi monokional dengan dikembangkannya galur sel mieloma yang tidak membentuk rantai imunogtobulin. Medium dasar ditambah FCS (fetal calf serum) secara umum cukup baik, tetapi FCS merupakan hambatan karena harganya mahal, sulit di- dapatkan serta hasilnya bervariasi. Karana itu dikembangkan medium tanpa serum sehingga penelitian yang perlu keadaan tanpa serum dapat dilakukan dan biaya pemeliharaan sd dalam skala besar akan lebih murah. Untuk mendorong timbulnya fusi sel banyak digunakan polyethyleneglycol (PEG) yang mudah didapat dan cukup efek- tif. Pengembangan dilakukan untuk memperbaiki frekuensi fusi dengan menambahkan DMSO bersama PEG dan penggunaan medan listnik. Penambahan bermacam-macam feeder system, terbukti dapat mendorong penumbuhan hibridoma.
PERKEMBANGAN LEMBAH SUNGAI
Sungai dapat memotong lembah pada tempat sungai tersebut mengalir. Peristiwa tersebut dapat menghasilkan bentukan lembah yang bermacam – macam akibat erosi. Evolusi dari lembah terbagi atas 3 tahap, yaitu tahap muda, tahap dewasa, dan tahap tua (Thornbury, 1954, hal 137-138).
Tahap muda.
Pada tahap ini sungai akan memiliki arus yang deras, kadang – kadang terdapat airterjun, lembah yang sempit dan berbentuk V, gradien sungai curam sehingga erosi vertikal akan lebih dominan, banyak gully – gully yang mengalami erosi kehulu, umumnya membentuk pola penyaluran dendritik.
Tingkat erosi muda ditandai oleh
1.Sungai sangat aktif dan erosi berlangsung cepat,
2.Erosi vertikal lebih kuat daripada erosi ke samping,
3.Lembah sungai mempunyai profil berbentuk V,
4.Tidak ada dataran banjir atau kalau ada dataran banjir tersebut sangat sempit,
5.Gradien sungai curam, ditandai oleh adanya jeram dan
air terjun,
1.Anak sungai sedikit dan kecil,
2.Aliran sungai deras,
3.Bentuk sungai relatif lurus.
4.Tahap dewasa.
Pada tahap dewasa erosi lateral lebih dominan sehingga sungai mulai memperlebar lembahnya, mulai membentuk meander dan dataran banjir, gradien sungai landai, lembah sungai lebar dengan bentuk U, sungai mulai mengalami shifting atau perpindahan mengikuti bentuk lembahnya.
Tingkat erosi dewasa ditandai oleh
1.Kecepatan aliran berkurang,
2.Gradien sungai sedang, jeram dan air terjun sudah tereliminir, aliran sungai tidak begitu deras,
3.Dataran banjir mulai terbentuk,
4.Erosi ke samping lebih kuat daripada erosi vertikal,
5.Mulai terbentuk meander sungai,
6.Pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar.
7.Tahap tua.
Sungai mulai memasuki tahap tua apabila lebar dataran banjirnya lebih besar daripada meander belt – nya, sungai akan sering mengalami shifting karena dataran banjirnya yang sangat luas, erosi lateral jauh lebih dominan daripada erosi vertikal, gradien sungai sangat landai, proses sedimentasi akan lebih dominan daripada proses transportasi, kadang – kadang terdapat danau dan rawa – rawa pada dataran banjirnya akibat adanya oxbow lake. Pada tahap ini apabila pada daerah tersebut mengalami pengangkatan, yang mengakibatkan sungai akan mulai mengerosi secara vertikal lagi, maka sungai tersebut mengalami rejuvinasi. Bekas dataran banjir yang telah terangkat disebut sebagai teras sungai.
Tingkat erosi tua ditandai oleh
1.Kecepatan aliran makin berkurang
2.Pelebaran lembah, walaupun lambat tetapi masih lebih kuat daripada pendalaman sungai
3.Dataran banjir lebih lebar daripada sabuk meander
4.Oxbowl lakes, meander scars, natural levees atau tanggul alam lebih umum dijumpai daripada ketika sungai ini bertingkat dewasa.
Tahap muda.
Pada tahap ini sungai akan memiliki arus yang deras, kadang – kadang terdapat airterjun, lembah yang sempit dan berbentuk V, gradien sungai curam sehingga erosi vertikal akan lebih dominan, banyak gully – gully yang mengalami erosi kehulu, umumnya membentuk pola penyaluran dendritik.
Tingkat erosi muda ditandai oleh
1.Sungai sangat aktif dan erosi berlangsung cepat,
2.Erosi vertikal lebih kuat daripada erosi ke samping,
3.Lembah sungai mempunyai profil berbentuk V,
4.Tidak ada dataran banjir atau kalau ada dataran banjir tersebut sangat sempit,
5.Gradien sungai curam, ditandai oleh adanya jeram dan
air terjun,
1.Anak sungai sedikit dan kecil,
2.Aliran sungai deras,
3.Bentuk sungai relatif lurus.
4.Tahap dewasa.
Pada tahap dewasa erosi lateral lebih dominan sehingga sungai mulai memperlebar lembahnya, mulai membentuk meander dan dataran banjir, gradien sungai landai, lembah sungai lebar dengan bentuk U, sungai mulai mengalami shifting atau perpindahan mengikuti bentuk lembahnya.
Tingkat erosi dewasa ditandai oleh
1.Kecepatan aliran berkurang,
2.Gradien sungai sedang, jeram dan air terjun sudah tereliminir, aliran sungai tidak begitu deras,
3.Dataran banjir mulai terbentuk,
4.Erosi ke samping lebih kuat daripada erosi vertikal,
5.Mulai terbentuk meander sungai,
6.Pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar.
7.Tahap tua.
Sungai mulai memasuki tahap tua apabila lebar dataran banjirnya lebih besar daripada meander belt – nya, sungai akan sering mengalami shifting karena dataran banjirnya yang sangat luas, erosi lateral jauh lebih dominan daripada erosi vertikal, gradien sungai sangat landai, proses sedimentasi akan lebih dominan daripada proses transportasi, kadang – kadang terdapat danau dan rawa – rawa pada dataran banjirnya akibat adanya oxbow lake. Pada tahap ini apabila pada daerah tersebut mengalami pengangkatan, yang mengakibatkan sungai akan mulai mengerosi secara vertikal lagi, maka sungai tersebut mengalami rejuvinasi. Bekas dataran banjir yang telah terangkat disebut sebagai teras sungai.
Tingkat erosi tua ditandai oleh
1.Kecepatan aliran makin berkurang
2.Pelebaran lembah, walaupun lambat tetapi masih lebih kuat daripada pendalaman sungai
3.Dataran banjir lebih lebar daripada sabuk meander
4.Oxbowl lakes, meander scars, natural levees atau tanggul alam lebih umum dijumpai daripada ketika sungai ini bertingkat dewasa.
MACAM BENTUK LAHAN BAWAH LAUT / SAMUDERA
Heezen dan Wilson (1968, dari Gunter et al., 1980) mengklasifikasikan bentuk lahan dasar samudera menjadi 3 bagian yang paling penting, yaitu :
Tepi benua (continental margin)
Cekungan laut dalam (deep-sea basin)
Punggungan tengah samudera (mid-ocean ridge)
Bloom (1978), mendasarkan kepada kedalaman dan bentuk struktur geologi membagi bentuk lahan dasar samudera menjadi 2 propinsi, yaitu :
Tepi benua (continental margin ) bagian yang lebih kecil.
Dasar laut dalam (deep-sea floor), bagian yang lebih luas.
Kedua propinsi di atas masing-masing diperinci lagi. Pada kenyataannya di lapangan batas antara masing-masing bentuk lahan tidak dapat ditentukan secara lebih jelas dan mudah. Pembeda antara tepi benua dengan dasar laut dalam adalah bahwa tepi benua secara struktural merupakan bagian dari benua dan pernah mengalami kontak dengan udara di permukaan selama terjadi akumulasi sedimen yang berasal dari daratan. Sedangkan dasar laut dalam sangat berlawanan, memiliki struktur kerak samudera dan tidak pernah berada di atas permukaan laut
Stowe (1978) berpendapat bahwa kondisi bawah samudera secara geomorfologis dapat dibagi menjadi : paparan (shelf), lereng (slope), jendulan (rise), cekungan samudera (ocean basin), sistem punggungan tengah samudera (Mid Oceanic Ridge System), dan kenampakan lain yang lebih kecil yang terdapat pada dasar samudera.
Tepi Benua
Tepi benua pada bagian paling tepi disebut laras benua (continental shelf). Kelerengannya landai dari pantai sampai kedalaman 150 – 200 m. pada akhir dari laras (shelf break) kelerengannya menjadi curam secara tiba-tiba disebut lereng benua (continental slope). Bagian di bawah tepi benua yang menumpang di atas kerak samudera menyerupai tinggian disebut jendulan benua (continental rise). Kenampakan laras benua, lereng benua dan jendulan benua menunjukkan tepi pasif (passive margin) dari benua pada lempeng litosfer
Laras Benua (Continental Shelf)
Sekitar 15 % dari bentang lahan bawah samudera merupakan laras benua dan lereng benua (Menard & Smith, 1969, dalam Bloom, 1978). Laras benua didefinisikan sebagai dataran atau teras yang dangkal dari pantai ke arah laut suatu benua yang dibatasi oleh kelerengan yang menjadi curam secara tiba-tiba dengan kedalaman berkisar 20 – 200 m (Shepard, 1973, dalam Bloom, 1978). Lebar rata-rata dari laras benua adalah 75 km dengan kelerengan 0007’ (sekitar 2 m/ km). Akumulasi sedimen pada laras benua 70 % nya merupakan hasil deposisi yang terjadi sewaktu muka air laut mengalami regresi.
Lereng benua (Continental Slope)
Lereng benua adalah kenampakan permukaan topografi yang paling tinggi, paling curam dan paling panjang di dasar laut (Dietz, 1964, dalam Bloom, 1978). Dari batas laras benua, kedalaman sekitar 200 m, lereng benua menunjam sepanjang 1 – 3 km menuju puncak dari jendulan benua pada kedalaman 1500 m dengan kelerengan sekitar 4017’ (sekitar 75m/km). Gawir yang curam pada lereng benua terjadi oleh kontrol struktur, beberapa lereng benua merupakan gawir patahan.
Dasar Laut Dalam
Jendulan Benua (Continental Rise)
Di dasar dari lereng benua, pada kedalaman beberapa km, kelerengan yang curam berangsur-angsur berkurang menjadi 10 atau kurang dari itu, ke arah laut dalam bentuk lahan ini dibatasi perbukitan tubir (abyssal hills) atau dataran tubir (abyssal plain). Jendulan benua mencakup 5 % dari seluruh dasar samudera. Pada Jendulan benua terakumulasi sedimen dengan jumlah sangat besar dan membaji (mencapai ketebalan hingga 6 km) memanjang hingga 300 – 600 km dihitung dari dasar lereng. Sedimen tersebut berasal dari laras benua , dan merupakan akumulasi sedimen yang terbesar yang terdapat di bumi (Emery, et al., 1970, dalam Bloom, 1978).
Dataran Tubir (Abyssal Plain) dan Bukit-bukit tubir (Abyssal hills)
Sekitar 42 % dari dasar samudera, atau hampir mencapai 30 % dari permukaan bumi, merupakan dataran tubir dan perbukitan tubir (Menard & Smith, 1966, dalam Bloom, 1978). Kedalamannya berkisar 3 – 6 km di bawah muka air laut dengan ketinggian bukit tubir mencapai beberapa ratus hingga 1000 m dari dasar samudera dan merupakan fungsi dari umur kerak samudera. Perbukitan tubir terbentuk oleh vulkanisme dan tektonik pada pemekaran tengah samudera (sea floor spreading) kemudian terbawa menjauh secara lateral dari punggungan tengah samudera oleh pergerakan lempeng dan kontraksi panas. Jika pemekarannya berlangsung cepat, maka topografi bukit-bukit tubir akan landai, jika pemekaran berlangsung lambat, maka akan terbentuk topografi yang kasar Dataran tubir merupakan permukaan pengendapan yang terisi oleh lempung maupun lanau biogenik asal daratan (terrigoneous). Ketebalannya mencapai beberapa ratus meter. Batuannya terdiri dari lempung coklat, tetapi pada daerah dengan air permukaannya kaya nutrisi akan menghasilkan endapan yang didominasi oleh siliceous diatomea atau calcareous foraminifera
Punggungan Tengah Samudera (Mid Ocean Ridge)
Punggung tengah samudera merupakan barisan pegunungan bawah samudera pada kedalaman laut kurang dari 4 km, tetapi pada sisi-sisinya merupakan samudera yang lebih dalam. Lebar bentuk lahan ini mencapai ribuan km dengana ketinggian mencapai 2 km, dan agihannya mencapai sepertiga dari bentuk lahan samudera (Bloom, 1978). Punggung tengah samudera adalah bagian paling muda dari kerak samudera yang membentuk dasar samudera, dan hanya memiliki lapisan sedimen yang tipis di atasnya. Bentuk lahan ini dicirikan oleh adanya kompleks sesar geser (transform fault). Punggung tengah samudera merupakan suatu sitem gabungan dari punggung samudera (ocean ridge) dan jendulan samudera (ocean rise). Antara ridge dan rise hanya dibedakan atas kelerengannya, Ridge lebih terjal dan digunakan untuk barisan pegunungan di tengah Atlantik, sedangkan rise menyerupai tonjolan diterapkan untuk kenampakan di Pasifik Timur. Pada bagian tengah dari sitem punggung tengah samudera ditemui lembah curam dan dalam (rift valley). (Hutabarat & Evans, 1986).
Cekungan Samudera (Ocean Basin)
Cekungan samudera berada antara lereng benua dan sistem punggungan tengah samudera dan mempunyai rata-rata kedalaman 4000 – 6000 m. Luas cekungan samudera ini merupakan 30 % dari luas keseluruhan permukaan bumi Pada dasar Cekungan samudera ini terdapat ratusan hingga ribuan abyssal hill, juga kadang seamount.
Seamount dan guyot (gunung api bawah samudera)
Sebagian kecil dari dasar samudera terdiri dari gunung api, terisolasi atau merupakan pegunungan yang bukan merupakan bagian dari punggung tengah samudera. Elevasi yang menjulang sekitar 3 – 4 km dari dasar samudera sampai beberapa ratus meter di bawah permukaan laut. Gunung api bawah samudera dengan puncak berupa kerucut vulkanik disebut seamount, sedangkan yang berpuncak datar biasa disebut guyot (Hess, dalam Bloom, 1978). Pada beberapa guyot ditemui sedimen laut dangkal seperti kerikil pantai dan endapan koral tetapi saat ini tertutup oleh endapan pelagik karena terletak pada kedalaman 400 – 2000 m. Puncak yang datar dari guyot ini selain akibat erosi, juga dapat terbentuk oleh erupsi vulkanik.
Palung Samudera (trench) dan Busur Kepulauan (Island arc)
Bagian paling dalam dari samudera tidak terletak di tengahnya , tetapi pada bagian dekat tepi.
Sekitar setengah dari tepi benua dibatasi oleh palung yang ,memiliki kedalaman sampai 2 kali kedalaman dasar samudera. Palung samudera adalah suatu jalur yang terjal, sempit dan memanjang pada dasar samudera yang dapat mencapai kedalaman 10.000 m. Keberadaan palung pada umumnya selalu berasosiasi dengan busur kepulauan, yaitu rangkaian- pulau-pulau atau busur punggungan yang memisahkan laut dangkal dengan laut dalam serta sering merupakan pusat gempa dan aktivitas vulkanisme.
Plato
Terdapat sejumlah bagian kerak benua yang terangkat ke permukaan laut berupa dataran membentuk pulau kecil. Tingginya sekitar 1 – 2 km di atas dasar laut. Kerak pada bagian plato ini lebih tebal jika dibanding sekitarnya. Sifat keraknya sama dengan kerak benua. Sebagian dari plato ini terbentuk dari sisa kerak benua masa lampau geologi, atau hasil pengerjaan vulkanik lokal.
Reef dan Atol
Di daerah dengan kondisi air laut hangat, kedalaman dasar laut berkisar 50 m, kondisi air laut jernih, jauh dari delta atau sungai maka akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan koral. Koral ini akan berkoloni membentuk kelompok besar yang disebut reef. Apabila reef ini tumbuh disekitar pulau kecil sisa vulkanik atau suatu plato, maka koloni koral ini akan tumbuh mengelilingi pulau tersebut, sebagai akibat erosi atau mengalami penurunan muka air laut maka yang tersisa hanya koloni koral ini yang berbentuk cincin yang biasa disebut atol.
Tepi benua (continental margin)
Cekungan laut dalam (deep-sea basin)
Punggungan tengah samudera (mid-ocean ridge)
Bloom (1978), mendasarkan kepada kedalaman dan bentuk struktur geologi membagi bentuk lahan dasar samudera menjadi 2 propinsi, yaitu :
Tepi benua (continental margin ) bagian yang lebih kecil.
Dasar laut dalam (deep-sea floor), bagian yang lebih luas.
Kedua propinsi di atas masing-masing diperinci lagi. Pada kenyataannya di lapangan batas antara masing-masing bentuk lahan tidak dapat ditentukan secara lebih jelas dan mudah. Pembeda antara tepi benua dengan dasar laut dalam adalah bahwa tepi benua secara struktural merupakan bagian dari benua dan pernah mengalami kontak dengan udara di permukaan selama terjadi akumulasi sedimen yang berasal dari daratan. Sedangkan dasar laut dalam sangat berlawanan, memiliki struktur kerak samudera dan tidak pernah berada di atas permukaan laut
Stowe (1978) berpendapat bahwa kondisi bawah samudera secara geomorfologis dapat dibagi menjadi : paparan (shelf), lereng (slope), jendulan (rise), cekungan samudera (ocean basin), sistem punggungan tengah samudera (Mid Oceanic Ridge System), dan kenampakan lain yang lebih kecil yang terdapat pada dasar samudera.
Tepi Benua
Tepi benua pada bagian paling tepi disebut laras benua (continental shelf). Kelerengannya landai dari pantai sampai kedalaman 150 – 200 m. pada akhir dari laras (shelf break) kelerengannya menjadi curam secara tiba-tiba disebut lereng benua (continental slope). Bagian di bawah tepi benua yang menumpang di atas kerak samudera menyerupai tinggian disebut jendulan benua (continental rise). Kenampakan laras benua, lereng benua dan jendulan benua menunjukkan tepi pasif (passive margin) dari benua pada lempeng litosfer
Laras Benua (Continental Shelf)
Sekitar 15 % dari bentang lahan bawah samudera merupakan laras benua dan lereng benua (Menard & Smith, 1969, dalam Bloom, 1978). Laras benua didefinisikan sebagai dataran atau teras yang dangkal dari pantai ke arah laut suatu benua yang dibatasi oleh kelerengan yang menjadi curam secara tiba-tiba dengan kedalaman berkisar 20 – 200 m (Shepard, 1973, dalam Bloom, 1978). Lebar rata-rata dari laras benua adalah 75 km dengan kelerengan 0007’ (sekitar 2 m/ km). Akumulasi sedimen pada laras benua 70 % nya merupakan hasil deposisi yang terjadi sewaktu muka air laut mengalami regresi.
Lereng benua (Continental Slope)
Lereng benua adalah kenampakan permukaan topografi yang paling tinggi, paling curam dan paling panjang di dasar laut (Dietz, 1964, dalam Bloom, 1978). Dari batas laras benua, kedalaman sekitar 200 m, lereng benua menunjam sepanjang 1 – 3 km menuju puncak dari jendulan benua pada kedalaman 1500 m dengan kelerengan sekitar 4017’ (sekitar 75m/km). Gawir yang curam pada lereng benua terjadi oleh kontrol struktur, beberapa lereng benua merupakan gawir patahan.
Dasar Laut Dalam
Jendulan Benua (Continental Rise)
Di dasar dari lereng benua, pada kedalaman beberapa km, kelerengan yang curam berangsur-angsur berkurang menjadi 10 atau kurang dari itu, ke arah laut dalam bentuk lahan ini dibatasi perbukitan tubir (abyssal hills) atau dataran tubir (abyssal plain). Jendulan benua mencakup 5 % dari seluruh dasar samudera. Pada Jendulan benua terakumulasi sedimen dengan jumlah sangat besar dan membaji (mencapai ketebalan hingga 6 km) memanjang hingga 300 – 600 km dihitung dari dasar lereng. Sedimen tersebut berasal dari laras benua , dan merupakan akumulasi sedimen yang terbesar yang terdapat di bumi (Emery, et al., 1970, dalam Bloom, 1978).
Dataran Tubir (Abyssal Plain) dan Bukit-bukit tubir (Abyssal hills)
Sekitar 42 % dari dasar samudera, atau hampir mencapai 30 % dari permukaan bumi, merupakan dataran tubir dan perbukitan tubir (Menard & Smith, 1966, dalam Bloom, 1978). Kedalamannya berkisar 3 – 6 km di bawah muka air laut dengan ketinggian bukit tubir mencapai beberapa ratus hingga 1000 m dari dasar samudera dan merupakan fungsi dari umur kerak samudera. Perbukitan tubir terbentuk oleh vulkanisme dan tektonik pada pemekaran tengah samudera (sea floor spreading) kemudian terbawa menjauh secara lateral dari punggungan tengah samudera oleh pergerakan lempeng dan kontraksi panas. Jika pemekarannya berlangsung cepat, maka topografi bukit-bukit tubir akan landai, jika pemekaran berlangsung lambat, maka akan terbentuk topografi yang kasar Dataran tubir merupakan permukaan pengendapan yang terisi oleh lempung maupun lanau biogenik asal daratan (terrigoneous). Ketebalannya mencapai beberapa ratus meter. Batuannya terdiri dari lempung coklat, tetapi pada daerah dengan air permukaannya kaya nutrisi akan menghasilkan endapan yang didominasi oleh siliceous diatomea atau calcareous foraminifera
Punggungan Tengah Samudera (Mid Ocean Ridge)
Punggung tengah samudera merupakan barisan pegunungan bawah samudera pada kedalaman laut kurang dari 4 km, tetapi pada sisi-sisinya merupakan samudera yang lebih dalam. Lebar bentuk lahan ini mencapai ribuan km dengana ketinggian mencapai 2 km, dan agihannya mencapai sepertiga dari bentuk lahan samudera (Bloom, 1978). Punggung tengah samudera adalah bagian paling muda dari kerak samudera yang membentuk dasar samudera, dan hanya memiliki lapisan sedimen yang tipis di atasnya. Bentuk lahan ini dicirikan oleh adanya kompleks sesar geser (transform fault). Punggung tengah samudera merupakan suatu sitem gabungan dari punggung samudera (ocean ridge) dan jendulan samudera (ocean rise). Antara ridge dan rise hanya dibedakan atas kelerengannya, Ridge lebih terjal dan digunakan untuk barisan pegunungan di tengah Atlantik, sedangkan rise menyerupai tonjolan diterapkan untuk kenampakan di Pasifik Timur. Pada bagian tengah dari sitem punggung tengah samudera ditemui lembah curam dan dalam (rift valley). (Hutabarat & Evans, 1986).
Cekungan Samudera (Ocean Basin)
Cekungan samudera berada antara lereng benua dan sistem punggungan tengah samudera dan mempunyai rata-rata kedalaman 4000 – 6000 m. Luas cekungan samudera ini merupakan 30 % dari luas keseluruhan permukaan bumi Pada dasar Cekungan samudera ini terdapat ratusan hingga ribuan abyssal hill, juga kadang seamount.
Seamount dan guyot (gunung api bawah samudera)
Sebagian kecil dari dasar samudera terdiri dari gunung api, terisolasi atau merupakan pegunungan yang bukan merupakan bagian dari punggung tengah samudera. Elevasi yang menjulang sekitar 3 – 4 km dari dasar samudera sampai beberapa ratus meter di bawah permukaan laut. Gunung api bawah samudera dengan puncak berupa kerucut vulkanik disebut seamount, sedangkan yang berpuncak datar biasa disebut guyot (Hess, dalam Bloom, 1978). Pada beberapa guyot ditemui sedimen laut dangkal seperti kerikil pantai dan endapan koral tetapi saat ini tertutup oleh endapan pelagik karena terletak pada kedalaman 400 – 2000 m. Puncak yang datar dari guyot ini selain akibat erosi, juga dapat terbentuk oleh erupsi vulkanik.
Palung Samudera (trench) dan Busur Kepulauan (Island arc)
Bagian paling dalam dari samudera tidak terletak di tengahnya , tetapi pada bagian dekat tepi.
Sekitar setengah dari tepi benua dibatasi oleh palung yang ,memiliki kedalaman sampai 2 kali kedalaman dasar samudera. Palung samudera adalah suatu jalur yang terjal, sempit dan memanjang pada dasar samudera yang dapat mencapai kedalaman 10.000 m. Keberadaan palung pada umumnya selalu berasosiasi dengan busur kepulauan, yaitu rangkaian- pulau-pulau atau busur punggungan yang memisahkan laut dangkal dengan laut dalam serta sering merupakan pusat gempa dan aktivitas vulkanisme.
Plato
Terdapat sejumlah bagian kerak benua yang terangkat ke permukaan laut berupa dataran membentuk pulau kecil. Tingginya sekitar 1 – 2 km di atas dasar laut. Kerak pada bagian plato ini lebih tebal jika dibanding sekitarnya. Sifat keraknya sama dengan kerak benua. Sebagian dari plato ini terbentuk dari sisa kerak benua masa lampau geologi, atau hasil pengerjaan vulkanik lokal.
Reef dan Atol
Di daerah dengan kondisi air laut hangat, kedalaman dasar laut berkisar 50 m, kondisi air laut jernih, jauh dari delta atau sungai maka akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan koral. Koral ini akan berkoloni membentuk kelompok besar yang disebut reef. Apabila reef ini tumbuh disekitar pulau kecil sisa vulkanik atau suatu plato, maka koloni koral ini akan tumbuh mengelilingi pulau tersebut, sebagai akibat erosi atau mengalami penurunan muka air laut maka yang tersisa hanya koloni koral ini yang berbentuk cincin yang biasa disebut atol.
Langganan:
Postingan (Atom)